Padi dan Gandum Sumber: http://zaraimedia.com/ |
Mengapa masyarakat Barat cenderung lebih individualistis dibandingkan dengan masyarakat Timur yang cenderung lebih interdependen (saling ketergantungan)? Selama lebih dari 20 tahun para psikolog berusaha untuk menjelaskan perbedaan budaya Barat yang lebih induvidualistik dan cenderung menggunakan pemikiran analitis, sedangkan budaya Asia Timur yang lebih interdependen (saling ketergantungan) dan cenderung menggunakan pemikiran holistik. Pemikiran analitis ini maksudnya adalah berpikir menggunakan kategori abstraksi dan penalaran formal, seperti hukum logika non-kontradiksi – jika A adalah benar, maka “bukan A” adalah salah. Sedangkan Pemikiran holistik ini maksudnya adalah cenderung berpikir menggunakan intuitif dan terkadang bahkan menganut kontradiksi – baik A dan “bukan A” bisa menjadi benar. Terdapat beberapa teori yang berusaha menjelaskan perbedaan tersebut, diantaranya teori modernisasi dan teori prevalensi patogen.
Hipotesis modernisasi mengatakan bahwa semakin kaya, lebih terdidik, dan kapitalistik suatu masyarakat, maka mereka akan semakin induvidualistik dan berpikir analitis. World Values Survey’s dan studi terhadap penduduk pribumi Maya mengenai transisi menuju ekonomi pasar telah mendukung hipotesis modernisasi. Akan tetapi teori ini mengalami kesulitan dalam menjelaskan mengapa Jepang, Korea Selatan, dan Hongkong cenderung memiliki sikap kolektif meskipun PDB per kapita mereka lebih tinggi dibandingkan dengan Uni Eropa.
Teori prevalensi patogen juga menyatakan bahwa tingkat prevalensi penyakit menular yang tinggi di beberapa negara membuat masyarakat tersebut lebih berhati-hati untuk berurusan dengan orang asing, membuat kebudayaan tersebut more insular dan bersifat kolektif. Penelitian menemukan bahwa prevalensi patogen secara historis berkorelasi dengan kolektivisme dan tingkat keterbukaan yang lebih rendah. Namun, patogen memiliki korelasi yang kuat dengan panas. Karena beras tumbuh di daerah panas, patogen dapat bercampur dengan beras – kemungkinan yang tidak terkontrol oleh penelitian sebelumnya. Oleh karena itu teori prevalensi patogen kurang relevan untuk menjelaskan perbedaan budaya masyarakat Barat dan Timur.
Telheim, dan dkk. memberikan penjelasan teori yang menarik mengenai perbedaan ciri kebudayaan masyarakat Barat dan Timur melalui teori beras dan gandum. Teori beras dan gandum adalah perpanjangan dari bentuk teori subsisten, yang menyatakan bahwa beberapa bentuk subsisten (seperti pertanian) membutuhkan tingkat interdependen secara fungsional lebih tinggi dibandingkan bentuk lainnya (seperti penggembalaan). Misalnya padi yang memerlukan sejumlah besar air secara terus menerus. Seiring waktu, dimana masyarakat harus bekerja sama secara intensif menjadi lebih interdependen, sedangkan masyarakat yang tidak harus bergantung satu sama lain menjadi lebih individualistis.
Jika pada penelitian sebelumnya, menyatakan bahwa independen dan mobilitas dari teknik penggembalaan telah menciptakan budaya individualistik, sedangkan stabilitas dan penggunaan banyak pekerja dalam sistem pertanian telah menciptakan budaya kolektif. Talhelm dkk berpendapat bahwa teori subsisten masih kurang lengkap karena masih menyatukan semua bentuk pertanian. Mereka menyatakan bahwa pertanian beras dan gandum sangat berbeda, oleh karena itu akan menyebabkan perbedaan budaya juga.
Dua perbedaan besar antara pertanian beras dan gandum adalah irigasi dan pekerja. Beras padi membutuhkan genangan air, karena itu masyarakat di daerah penghasil padi harus membangun sistem irigasi yang terperinci yang membutuhkan kerja sama diantara para petani. Dalam jaringan irigasi, penggunaan air sawah keluarga yang satu akan mempengaruhi sawah keluarga lainnya, jadi petani beras harus melakukan kordinasi dalam penggunaan air. Selain itu, jaringan irigasi juga membutuhkan waktu berjam-jam tiap tahunnya untuk membangunnya, suatu tugas yang membutuhkan warga satu desa, bukan hanya seorang individu terpencil.
Padi juga membutuhkan banyak waktu dalam mengerjakannya. Antropologis pertanian yang mengobservasi daerah Cina premodern menemukan bahwa pekerjaan menanam padi membutuhkan setidaknya dua kali lipat jumlah jam dari menanam gandum. Bertani padi juga membutuhkan banyak pekerja dalam pelaksanaannya, dalam urusan ini para petani beras di desa-desa dari India sampai Malaysia dan Jepang membentuk semacam pertukaran pekerja diantara para petani. Para petani juga berkoordinasi mengenai waktu penanaman sehingga waktu panen tiap keluarga akan berbeda, memungkinkan mereka saling membantu pengerjaan sawahnya. Pertukaran pekerja ini adalah hal yang biasa dalam fase penanaman dan pemanenan. Secaea ekonomi, tindakan kerja sama diantara petani ini lebih menguntungkan dalam bertanam padi. Hal ini mendorong petani beras untuk bekerja sama secara intensif, membentuk hubungan yang erat berdasarkan timbal balik, dan menghindari tingkah laku yang menyebabkan konflik.
Sebaliknya, gandum lebih mudah untuk ditanam. Gandum tidak membutuhkan irigasi, sehingga petani gandum dapat bergantung pada curah hujan, dimana mereka tidak butuh berkoordinasi dengan tetangganya. Menanam dan memanen gandum juga membutuhkan pekerja, namun hanya dibutuhkan setengah jumlah pekerja dari beras. Beban yang lebih ringan tersebut artinya petani dapat mengerjakan sawahnya tanpa bergantung banyak kepada tetangganya.
Contoh mudah untuk membandingkan apakah beras dan gandum menyebabkan perbedaan budaya adlaah dengan memperlihatkan daerah beras (Asia Timur) yang interdependen dan daerah gandum (Barat) yang independen. Namun tidak seluruhnya perbedaan budaya Timur dan Barat dapat dijelaskan dengan teori beras dan gandum, banyak faktor lain yang berpengaruh seperti agama, politik, teknologi dan sebagainya.
Sumber: T. Talhelm, dkk, Large Scale Psychological Difference Within China Explained by Rice Versus Wheat Agriculture (Science Magazine Vol 344, 9 Mei 2014)