Runtuhnya
Orde Baru pada Mei 1998 telah membawa warna baru bagi perpolitikan di
Indonesia. Indonesia melakukan konsolidasi demokratisasi yang ditandai dengan
Pemilu DPR dan DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota yang serentak
dilaksanakan pada 7 Juni 1999. Ini merupakan pemilu yang demokratis yang
dirasakan Indonesia terakhir kali sejak tahun 1955. Berbagai macam partai
politik mulai bermunculan dengan membawa berbagai macam ideologi sebagai platform-nya, ada membawa ideologi agama
dan adapula yang sekuler. Penegasan ideologi dilakukan oleh partai politik guna
mendulang suara dari para pemilih. Namun terdapat hal yang menarik ketika
memasuki proses pembentukan pemerintahan, persaingan ideologi partai yang
dikumandangkan saat pemilu seakan berhenti. Berbagai perbedaan ideologi dan
tujuan dari partai politik kini bukanlah hal yang penting lagi. Kabinet yang
dibentuk pun melibatkan semua partai di DPR yang mencakup partai Islam maupun
moderat.
Pola yang sama terjadi lagi saat
Pemilu 2004, perbedaan ideologi hanya menjadi alat jual guna mendulang suara
tetapi tidak berlaku ketika masuk ke dalam pemerintahan. Dodi Ambardi
berpendapat bahwa sejak era reformasi partai-partai di Indonesia telah
membentuk sistem kepartaian yang mirip kartel. Ia juga menunjukkan bukti-bukti
yang menguatkan ciri kartel dalam sistem kepartaian di Indonesia, yakni (1)
hilangnya peran ideologi partai sebagai sebagai faktor penentu perilaku koalisi
partai; (2) sikap permisif dalam pembentukan koalisi; (3) tiadanya oposisi; (4)
hasil-hasil Pemilu hampir-hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku
partai politik; dan (5) kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara
kolektif sebagai satu kelompok. Kelima ini, khususnya yang kelima, berlawanan
dengan sifat umum sistem kepartaian yang kompetitif.
Namun kartel dalam politik berbeda
dengan kartel dalam ekonomi. Dan Slater menjelaskan, Dalam ilmu ekonomi, kartel
berbeda dari pasar bahwa mereka akan menghancurkan pesaing dan mencekik
pendatang baru yang potensial di pasar. Dalam politik, kartel berbeda dengan
koalisi bahwa mereka mengkooptasi semua partai politik besar ke dalam sebuah
aliansi nasional yang luas, dan meminggirkan partai-partai kecil yang berada
diluar dalam prosesnya. Walaupun ini merupakan bentuk ideal untuk mencapai stabilitas,
namun hal tersebut akan menjadi sebuah masalah dalam representatif.
Dodi Ambardi menjelaskan bahwa
kartel ini dilakukan oleh partai politik demi menjaga keberlangsungan hidup
mereka sebagai kepentingannya. Kelangsungan hidup partai-partai politik ini
ditentukan oleh kepentingan bersama untuk menjaga berbagai sumber keuangan yang
ada, terutama yang berasal dari pemerintah. Sumber keuangan partai yang
dimaksud oleh Ambardi ini bukanlah uang pemerintah yang resmi dialokasikan
untuk partai politik, melainkan uang pemerintah yang didapatkan oleh partai
melalui perburuan rente. Tindakan ini hanya dapat dimungkinkan bila partai
politik memiliki akses dalam jabatan pemerintahan dan parlemen. Kartz dan Mair berpendapat bahwa munculnya fenomena kartel politik akibat
kebutuhan keuangan finansial partai politik yang semakin bergantung pada
negara. Hal ini disebabkan oleh buruknya kemampuan mobilisasi keuangan partai
politik melalui iuran anggotanya yang akibatnya adalah menjauhnya partai
politik dari masyarakat dan mendekatkan partai pada negara.
Penelitian dari Katz dan Mair
tentang partai kartel di Eropa juga dapat menjadi sebuah contoh yang relevan
bagi perkembangan perpolitikan di Indonesia.
Mereka dapat menjelaskan dengan baik alasan mengapa partai politik
menggunakan cara kartel. Sudah jelas dalam sistem demokrasi bahwa ada sebagian
partai yang akan masuk dalam pemerintahan, sedangkan yang lainnya akan
terlempar ke luar. Ada partai yang takut akan terlempar dari jabatannya akibat
berubahnya suara pemilih. Namun dalam model politik kartel, tidak akan ada
partai besar yang terlempar dari kekuasaan. Hal ini mengakibatkan semakin tidak
jelas antara partai politik di pemerintahan dan partai politik yang menjadi
oposan.
Jabatan Kabinet yang seharusnya
menjadi pembantu presiden dalam menjalankan fungsi dalam memeberikan saran,
membuat kebijakan dan mengeksekusi perintah dari Presiden, dapat dimanfaatkan
oleh partai politik sebagai sumber finansial bagi partai politik. Tawar menawar
antara partai politik dan Presiden terjadi untuk menempatkan calon dari partai
politik di jabatan Menteri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pertimbangan
determinan pencalonan seorang Menteri dari partai politik berdasarkan seberapa
“basah” dalam posisi kementerian tersebut. Sektor-sektor Kementerian yang
“basah” seperti Kementerian Keuangan, Energi, Industri, Transportasi, dan
BUMN menjadi tempat potensial bagi
partai politik untuk menempatkan calonnya. Bahkan Kementerian yang terlihat
“kering” seperti Kementerian Agama, dapat dijadikan sumber pendapatan bagi
partai politik, tentunya dengan sedikit permainan muslihat. Dalam kasus
Kementerian Agama, sumber pendapatan bisa berasal dari mandat penyimpanan dana
haji.
Selain keuntungan bagi partai,
posisi jabatan Menteri juga dirasakan oleh personal Menteri tersebut. Seorang
Menteri juga akan menerima fasilitas yang mewah guna menjalankan fungsinya
sebagai pembantu Presiden. Fasilitas-fasilitas sebagai seorang Menteri seperti
mendapatkan mobil dinas yang mewah, kantor yang besar, gaji yang tinggi, dan
kesempatan untuk mengangkat staf pribadi lebih banyak. Selain hal materi,
seorang Menteri yang duduk dalam kabinet akan mendapatkan prestise yang tinggi
dan otoritas membuat kebijakan.
Untuk merubah kartel politik yang telah terjadi di negara
ini sangatlah sulit. Demokrasi yang berdasarkan atas persaingan yang kompetitif
untuk terciptanya pemerintahan yang optimal dengan sistem check and balances, justru terjadi kartel yang dilakukan oleh
partai politik untuk melanggengkan kekuasaan mereka di pemerintahan. Untuk
merubah semua ini dibutuhkan tindakan kolektif yang melibatkan banyak partai,
seperti terciptanya politik kartel yang membutuhkan tindakan kolektif juga.
Sumber:
- Dodi
Ambardi, Mengungkap Politik Kartel (Jakarta:
KPG, 2009)
- Dan
Slater, “Indonesia’s Accountability Trap:
Party Cartels and Presidential Power after Democratic Transition.” Indonesia 78
(October 2004)
0 comments:
Post a Comment