Wednesday, April 25, 2012

Politik Lingkungan dalam Dimensi Internasional



Sejak awal tahun 1970an telah banyak muncul isu mengenai masalah lingkungan. Masalah-masalah tersebut tidak bisa semata-mata dikerjakan pada tingkat nasional saja. Karena negara tidak bisa bertindak sendirian untuk menyelesaikan banyak permasalahan lingkungan yang sedang dihadapi. Secara normatif, negara-negara yang ada seharusnya dapat menciptakan sebuah rezim internasional yang berusaha untuk menyelesaikan permasalahan mulai dari penipisan ozon dan pemanasan global sampe hilangnya keanekaragaman hayati dan masalah limbah beracun.
Secara garis besar, perpolitikan internasional dapat dibedakan dengan konflik lingkungan yang terjadi antara Negara-negara Utara dan Negara-negara Selatan. Konflik-konflik yang terjadi pada umumnya berkisar masalah ekonomi global, populasi dan konsumsi sumber daya alam serta kedaulatan secara signifikan. Negara-negara Utara yang mendapatkan keuntungan dari persiapan ekonomi yang telah mapan, cenderung untuk mengartikan bahwa masalah lingkungan itu berbeda dari hubungan perekonomian yang ada. Permasalahan lingkungan dipandang sebagai masalah teknis yang dapat diatasi tanpa perlu mengubah struktur dari sistem perekonomian global, tanpa perlu mengargumenkan prinsip pasar bebas dan logika akumulasi modal. Dalam pandangan penganalisa lingkungan, Negara-negara Utara dan Selatan harus merestukturisasi perekonomian secara radikal. Negara-negara Utara harus mengurangi tingkat konsumsinya dan Negara-negara Selatan diharuskan untuk melakukan pembangunan yang berkelanjutan dan menyediakan kebutuhan bagi populasinya.
Namun menurut studi yang dilakukan dan digunakan oleh Negara-negara Selatan bahwa konsumsi yang dilakukan Negara-Negara Utara lebih berpengaruh untuk menciptakan kerusakan lingkungan sekarang ini. Sebagai contoh adalah soal penggunaan bahan bakar fosil, terdapat perbedaan yang sangat curam dalam penggunaan emisi karbon fosil perkapita. Amerika Serikat mengeluarkan sekitar 5.7 ton karbon per orang setiap tahun, sedangkan India mengeluarkan hanya sekitar 0.4 ton. Dengan kata lain, Richard Falk menyatakan fakta bahwa 85 persen pendapatan dunia hanya dinikmati oleh 23 persen penduduk dunia yang hidup di Utara, sedangkan 77 persen sisa populasi di Selatan hanya memperebutkan 23 persen kekayaan yang tersisa.
Konflik selanjutnya yang sering terjadi adalah permasalahan kedaulatan. Negara-negara Selatan melihat bahwa Negara-negara Utara berusaha menekan mereka untuk melakukan pembangunan berkelanjutan dan memasukan permasalahan lingkungan sebagai agenda pembangunannya. Hal ini tentu akan memberatkan Negara-negara Selatan, sebab mereka ditekan untuk menyejahterakan masyarakatnya namun di sisi lain mereka ditekan untuk memperhatikan lingkungannya. Ironi dengan Negara-negara Utara sebagai penyebab determinan dari kerusakan lingkungan yang hanya dituntut untuk mengurangi konsumsinya saja.

Prinsip kedua dari Rio Declaration, menyatakan bahwa Negara dalam hukum internasional adalah pemiliki kedaualatan untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya yang mengikuti kebijakan lingkungan dan pembangunan mereka. Permasalahan inilah yang dipandang oleh kelompok peduli lingkungan bahwa dibutuhkannya sebuah otoritas kedaulatan diatas Negara untuk bisa mengatur permasalahan lingkungan. Hal ini dibutuhkan untuk melindungi negara-negara tersebut dari degradasi lingkungan yang akan mengurangi kualitas hidup manusia. Permasalahan lingkungan tentu akan bertentangan dengan pembangunan ekonomi di negara-negara seperti Indonesia, Brazil, dan China yang sedang memacu pertumbuhan perekonomiannya. Maka sangatlah dibutuhkan transfer teknologi dan bantuan finansial agar negara-negara ini bisa melindungi lingkungannya.
Selain dominasi antara Negara-negara Utara terhadap Negara-negara Selatan, kini munculah Transnational Corporation (TNCs). Menurut analis peduli lingkungan aktor baru yang muncul ini akan menjadi hambatan dalam menghadapi pembangunan yang efektif dari rezim berbasiskan lingkungan. Hal ini bermula dari Konferensi Bretton Woods pada tahun 1944, setelah berakhirnya Perang Dunia II Amerika Serikat melihat bahwa tata tertib perekonomian dunia kedepannya akan berbasiskan pada prinsip pasar bebas. Berdasarkan Konferensi Bretton Woods maka dibentuklah institusi seperti World Trade Organisation (WTO), International Monetary Fund (IMF) dan World Bank. Lembaga-lembaga ini berfungsi untuk memberikan modal pinjaman bagi berbagai negara yang membutuhkan dengan syarat harus menderegulasikan sistem keuangan mereka, dengan kata lain harus menerima prinsip pasar bebas. Hal tersebut semakin terlihat perbedaannya pada akhir tahun 1990an, terbentuknya iklim perekonomian global dan masuknya TNC dan pasar keuangan global.
Mereka memakai prinsip trickle down effect bahwa kemajuan perekonomian Negara-negara Utara akan terasa di Negara-negara Selatan semakin dipertanyakan. Kenyataannya adalah muncul krisis hutang pada tahun 1980an, kebijakan kondisi pembayaran dan penyesuaian struktural, jarak antara negara kaya dan negara miskin semakin jauh. Sumber daya alam di Negara-negara Selatan secara konsisten telah dieksploitasi untuk membantu menyeimbangkan defisit pembayaran.
WTO sebagai institusi keuangan global berhasil memproteksi perekonomian Negara-negara Utara dan disaat yang sama menghilangkan hambatan perdagangan di Negara-negara Selatan. Contohnya dengan melakukan kebijakan trade-related investment measures (TRIMS) dan trade-related property right (TRIPS). TRIMS telah membuka sektor finansial dan asuransi dunia, sektor perekonomian yang sensitif dimana perusahaan Negara-negara Utara dalam posisi mendominasi. Sedangkan TRIPS memperbolehkan perusahaan untuk mengambil paten dari berbagai material biologis. Peter Wilkin berpendapat bahwa TRIPS memungkinkan TNCs Negara-negara Utara untuk mengambil paten dari berbagai materi genetik, agrikultural, dan obat-obatan parmasi yang aslinya secara praktik historis adalah kepunyaan dari petani Negara-negara Selatan, kominitas dan yang lainnya. Dengan memiliki hak paten yang terjamin, TNC yang berbasiskan Negara-negara Utara akan bebas untuk menjual komoditas tersebut kembali lagi ke Negara-negara Selatan dengan harga yang menguntungkan. Dengan kata lain Negara-negara Utara berusaha melakukan tindakan untuk merubah sistem dengan mendapatkan keuntungan (dalam ekonomi) untuk mereka.

0 comments: