Tuesday, November 6, 2012

Dinamika Amandemen UUD 1945 Pasca Reformasi



Cukup menarik jika kita membahas mengenai perdebatan amandemen UUD 1945 yang berlangsung selama empat kali sejak tahun 1999 – 2002. Perdebatan yang menarik dan cukup krusial dari perubahan UUD 1945 ini adalah mengenai dasar negara dan agama. Perdebatan ini sudah berlangsung sejak para pendiri bangsa ini mulai merumuskan Pancasila dan UUD 1945 yang berfungsi sebagai landasan negara Indonesia yang barus saja berdiri dalam masyarakat yang sangat plural dari segi suku maupun agama. 

Salah satu hal yang menarik adalah perdebatan antara Soekarno dan Natsir menyangkut hubungan Islam dan politik. Soekarno mendukung gagasan pemisahan antara agama dan politik. Menurut Soekarno, agama merupakan urusan spiritual dan pribadi, sedangkan masalah negara merupakan persoalan dunia dan kemasyarakatan. Natsir justru berpandangan sebaliknya, tidak ada pemisahan agama dengan negara. Menurut Natsir, ajaran Islam bukanlah semata-mata mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga antara manusia dengan sesamanya. Islam merupakan sebuah ideologi sehingga seorang Muslim tidak mungkin melepaskan keterlibatannya dalam politik tanpa memberi perhatian pada Islam.

Determinasi perbedaan pandangan ini dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan pendidikan dan pergaulan mereka. Sistem pendidikan yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia menekankan kepada kemampuan anak didik untuk menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan duniawi. Sedangkan sistem pendidikan pesantren yang berlandaskan ajaran agama Islam menekankan pada kemampuan anak didik menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi penghayatan agama.

Keberhasilan perjuangan kelompok Islam dalam mempengaruhi landasan negara ini terlihat pada hasil panitia sembilan yang dibentuk oleh BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 yang disebut sebagai Piagam Jakarta. Kalangan Islam berhasil memberi warna pada Mukadimah UUD 1945, yaitu pada alinea ke 4, khususnya pada sila pertama dari Pancasila: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Namun kesepakatan yang telah dikerjakan oleh Panitia Sembilan dipersoalkan kembali, khususnya oleh Hatta. Hatta berpendapat jika ‘tujuh kata’ tersebut dipertahankan, khawatir akan terjadi disintegerasi di Indonesia bagian timur.

Hal tersebut seolah terjadi kembali pada ST MPR untuk melakukan amandemen UUD 1945. Setelah turunnya rezim Soeharto pada Mei 1998, kebebasan politik di Indonesia mulai terbuka kembali. Upaya untuk mengamandemen konstitusi Negara Indonesia kembali terbuka sebagai prasyarat demokratisasi yang akan ditempuh negara ini. Hal tersebut terangkum dalam Sidang Tahunan MPR selama empat tahun. Berbagai polemik yang terjadi justru memberi warna tersendiri bagi proses demokrasi di Indonesia.

Salah satunya adalah penjabaran mengenai dasar negara Pancasila yang akan dijabarkan di batang tubuh UUD 1945. Walaupun semua fraksi di MPR setuju untuk tidak mengubah bagian pembukaan UUD 1945 karena itu merupakan landasan filosofi yang telah dibuat dengan susah payah oleh pendiri bangsa ini, namun ada perbedaan yang cukup tajam mengenai persoalan penjabaran Pancasila di batang tubuh UUD 1945. Pertama, fraksi-fraksi yang berpendapat dasar negara Pancasila perlu dicantumkan dalam batang tubuh UUD 1945, agar yang sudah termaktub di dalam bagian Pembukaan UUD 1945 dapat ditegaskan dalam pasal-pasalnya dan tidak akan tererosi oleh waktu serta dapat terus dipelajari oleh generasi mendatang. Kedua, pendapat bahwa dasar negara Pancasila tidak perlu dicantumkan dalam pasal-pasal sebab sebagai filosofi dasar kehidupan bernegara, Pancasila sudah cukup jelas dan paling aman ditempatkan pada bagian Pembukaan. Apabila dimasukkan ke dalam Batang Tubuh, akan rentan terhadap perubahan. Pada akhirnya setelah melalui perdebatan dan proses lobi yang panjang pada Sidang Tahunan 2002 MPR telah terjadi kesepakatan untuk tidak memasukkan Pancasila ke dalam batang tubuh UUD 1945.

Namun ada hal yang menarik dari polemik yang terjadi ini. Beberapa fraksi Islam seperti PBB dan PPP untuk memasukkan kembali sila pertama Pancasila dalam Piagam Jakarta, yaitu penambahan tujuh kata: dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Walaupun akhirnya usulan ini kalah dalam persidangan di MPR, namun setidaknya mereka puas karena dapat memperjuangkan aspirasi Islam itu secara konstitusional dan demokratis. Setidaknya tercapai empat hal dalam perjuangan tersebut. Pertama, upaya kelompok Islam mengingatkan kembali seluruh bangsa tentang kesepakatan luhur di masa lalu. Kedua, memperjuangkan aspirasi konstituennya yang berbasis Islam yang menginginkan ajaran-ajaran Islam dapat lebih diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Ketiga, memperkuat simbol-simbol Islam dalam rangka usaha memperkuat identitas politik sebagai partai Islam. Keempat, meraih dukungan lebih besar dari kalangan pemilih Islam.

Amandemen UUD 1945 dirasakan perlu untuk dilakukan mengingat pada rezim Soeharto telah terjadi pengerdilan lembaga-lembaga demokrasi seperti partai politik, pemilu, DPR, dan MPR. Akibat pengerdilan fungsi lembaga tersebut tidak bisa berjalan seperti yang seharusnya, yaitu memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya. Menurut para akademisi, UUD 1945 sebelum amandemen memiliki beberapa kelemahan, seperti tidak seimbangnya distribusi kekuatan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. UUD 1945 sebelum amandemen telah memberikan kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, sehingga kekuasaan DPR melemah, minimnya perlindungan terhadap HAM dan mekanisme check and balances tidak memadai.  Jika kekuasaan eksekutif terlalu besar serta tidak disertai kontrol oleh legislatif, maka kekuasaan tersebut cenderung untuk korup dan berpotensi menjadi pemerintahan yang otoriter.

Dominasi eksekutif yang terlalu dominan tanpa disertai kontrol oleh lembaga legislatif dan kelompok kepentingan, biasanya fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan tidak akan berjalan dengan baik. Dalam sistem politik seperti ini, hak-hak dasar warga negara kurang terjamin dan tidak terlindungi oleh negara. Kekuasaan yang otoriter maka semakin tinggi tendensinya untuk terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Maka dari itu seluruh fraksi di MPR saat itu memberikan perhatian yang lebih pada pembatasan kekuasaan Presiden, pemberdayaan DPR, pemberdayaan lembaga-lembaga negara seperti MA, BPK, DPA, BI, Pendidikan, hak asasi manusia, otonomi daerah, dan pengaturan mekanisme check and balances. Amandemen UUD 1945 ini nantinya diharapkan dapat dijadikan landasan konstitusional bagi keberlangsungan demokratisasi di Indonesia.

Thursday, June 14, 2012

Demokrasi Presidensial Multipartai di Indonesia



Melihat fenomena tiga orang Presiden Indonesia – Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid – yang diberhentikan oleh DPR dalam sidang Istimewa, dapat memperlihatkan kepada kita penerapan UUD 1945 sebelum amandemen dapat terjadi penyimpangan. UUD 1945 sebelum amandemen memiliki beberapa bagian yang bertentangan dengan sistem Presidensialisme yang dianut Indonesia, yaitu seorang Presiden dapat dimakzulkan oleh DPR melalui sidang MPR karena alasan politis.

Sekarang Amandemen UUD 1945 dapat dikatakan berhasil untuk mempurifikasi sistem Presidensial yang menjadi sistem pemerintahan ini sejak diberlakukannya UUD 1945. MPR bukan lagi menjadi lembaga tertinggi negara dan lembaga tersebut juga terjadi perubahan konposisi dan konfigurasinya. Saat ini Presiden bukan lagi menjadi mandataris dari MPR karena Presiden saat ini dipilih langsung oleh rakyat. Presiden tidak lagi melaksanakan GBHN yang ditetapkan oleh MPR, namun menjalankan program-programnya ketika ia berkampanye. Namun dalam kenyataan praktisnya lembaga eksekutif (Presiden) mengalami berbagai kendala. Efektivitas kekuasaan seorang Presiden mengalami sebuah dilema politik, disatu sisi presiden diberikan kekuasaan yang cukup besar sebagai pemegang kekuasaan tunggal dalam pemerintahan (baik sebagai Kepala Negara ataupun Kepala Pemerintahan), tetapi pada saat yang sama kekuasaan itu juga dikekang kuat oleh kontrol di parlemen melalui mekanisme check and balances, bahkan selalu dibayangi ancaman impeachment.

Fenomena demokrasi Indonesia pasca reformasi telah melahirkan banyak partai politik, sebagai wadah sarana mereka untuk menyampaikan aspirasi, juga menambah kompleksitas hubungan yang terjadi antara lembaga legislatif dan eksekutif. Hal ini sejalan dengan pernyataan seorang ilmuwan politik, Scott Mainwaring, yang mengatakan bahwa kombinasi dari sistem Presidensial dan multipartai membuat kestabilan demokrasi menjadi sulit untuk bertahan. Ia juga menjelaskan bahwa dari 31 negara demkrasi yang stabil paling tidak selama 25 tahun, hanya 4 negara yang menggunakan sistem presidensial. Mainwaring juga menjelaskan data-data bahwa hanya 1 dari 15 negara yang memiliki sistem demokrasi presidensial multipartai yang dapat bertahan paling tidak selama 25 tahun. Hal ini akan sangat timpang jika dibandingkan bahwa ada 5 dari 10 negara yang memiliki sistem demokrasi presidensial dua partai dan 11 dari 21 negara yang memiliki sistem demokrasi parlementer yang dapat bertahan selama 25 tahun. Mainwaring menyandarkan pada tiga kriteria bahwa sebuah negara dapat dikatakan memiliki kestabilan demokrasi. Pertama, demokrasi haruslah terbuka, pemilihan kompetitif untuk menentukan siapa yang akan berkuasa. Kedua, harus ada pemilihan umum yang dapat diikuti oleh orang dewasa. Ketiga adalah harus ada jaminan tentang kebebasan sipil seperti kebebasan berpendapat, kebebasan media, kebebasan berorganisasi, kesamaan dalam hukum, dan lain-lain.

Pendapat ini juga sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Hanta Yuda bahwa sistem presidensial yang diterapkan di atas struktur politik multipartai diragukan dapat mendorong terjadinya demokratisasi, dan diyakini akan cenderung melahirkan konflik antara lembaga presiden dan parlemen, yang akan melahirkan ketidakstabilan demokrasi. Dengan adanya sistem multipartai maka kekuasaan di parlemen akan semakin terfragmentasi. Hal ini akan lebih buruk jika presiden yang terpilih, menjadi partai minoritas di parlemen. Sistem check and balances terhadap eksekutif dan legislatif menjadi tidak optimal, karena partai pendukung presiden terpilih menjadi minoritas di parlemen yang akan berdampak pada program kerja dan kebijakan yang ditawarkan oleh pemerintah akan berhenti ketika dibahas di parlemen. Untuk mengatasi hal tersebut adalah presiden harus membentuk sebuah koalisi dengan partai-partai di parlemen untuk memudahkan proses legislasi dan anggaran di legislatif. Presiden harus bersikap akomodatif terhadap partai-partai politik dengan mengajak mereka ke ranah eksekutif, salah satunya adalah memasukkan aktor-aktor partai politik untuk duduk menjadi menteri di kabinet.

Pengangkatan menteri yang seharusnya menjadi hak prerogatif presiden untuk menempatkan orang-orang yang ahli dalam bidangnya kini diisi oleh wakil-wakil dari partai politik. Ini semua adalah harga yang harus dibayar oleh presiden untuk mengamankan posisinya di pemerintahan. Problem selanjutnya yang muncul adalah loyalitas ganda dari seorang menteri yang duduk di kabinet, menteri yang seharusnya memiliki loyalitas tunggal terhadap presiden, juga memiliki loyalitas kepada partai politik yang mengusulkan dirinya untuk duduk di jabatan menteri. Dampaknya sudah dapat ditebak, roda pemerintahan menjadi tidak berjalan secara optimal, karena posisi menteri yang seharusnya diduduki oleh seorang profesional, kini harus diberikan jatah kepada wakil dari partai politik.

Interaksi antara presiden dan wakil presiden juga menarik untuk dikaji lebih dalam. Hanta Yuda memberikan ilustrasi yang cukup baik pada Pemerintahan Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Wakil Presiden yang seharusnya menjadi ban serep dari seorang Presiden dan dapat mewakili dirinya dalam kegiatan tertentu kini menjadi sebuah problem tersendiri. Wakil Presiden Jusuf Kalla ternyata didukung oleh Partai Golkar yang ternyata lebih dominan dibandingkan dengan Partai Demokrat, partai pendukung Presiden Yudhoyono. Hal ini menyebabkan posisi tawar dari seorang Wakil Presiden menjadi sesuatu yang harus diperhitungkan oleh seorang Presiden Yudhoyono, dan akan sangat mungkin untuk terjadi perpecahan antara presiden dan wakil presiden.

Partai koalisi bentukan presiden juga memiliki permasalahan tersendiri. Dapat dilihat bahwa koalisi yang terjadi di parlemen ternyata memiliki ideologis yang dengan jarak yang cukup jauh. Koalisi yang terjadi di parlemen hanya berdasarkan oleh kesamaan kepentingan saja tanpa melihat kesamaan visi dan ideologis dari partai-partai yang bergabung. Akibatnya koalisi yang dibentuk ini tidaklah solid dan rawan terjadi perpecahan dalam koalisi tersebut yang tentu akan membahayakan posisi seorang Presiden. Faktor-faktor tersebutlah yang menyebabkan bahwa sistem demokrasi presidensial dengan multipartai tidak cukup stabil untuk diterapkan. 

Sumber:
Scott Mainwaring, Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination. (SAGE Publication, 1993)
Hanta Yuda, Presidensialisme Setengah Hati: Dari Dilema ke Kompromi, (Jakarta: PT. Gramedia pustaka Utama, 2010)

Wednesday, May 23, 2012

Mengatasi Perubahan Iklim: Lima Kunci Untuk Sukses



Suka atau tidak suka, pemanasan global sedang berlangsung saat ini. Ini merupakan sebuah tantangan bagi kita di abad ke 21, karena pemanasan global akan berdampak pada bagaimana kita hidup dan bekerja, serta kan menyentuh setiap aspek perekonomian kita dan hidup kita. Kita sudah tidak hidup di dunia fantasi dimana kita percaya bahwa tidak ada yang berubah, kita sudah harus menerima apa yang dikatakan para ilmuwan tentang apa yang telah terjadi di bumi kita.

Berbagai perjanjian internasional telah dilaksanakan oleh negara-negara di dunia untuk mengurangi emisi karbon yang ada. Pada tahun 1992  sebanyak 150 negara berkumpul di Rio de Janeiro untuk menghadiri United Nations Conference on Environment and Development, yang kita kenal dengan Earth Summit. Mereka semua sepakat dan ikut menandatangani perjanjian yang disebut dengan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Perjanjian ini adalah sebuah bentuk ambisi jangka panjang dari para negara-negara tersebut untuk mengurangi gas rumah kaca di atmosfer guna mencegah perubahan iklim.

Pada awalnya para negara industrialis sepakat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka hingga tahun 2000. Namun sebelum seiring perjalanan waktu, Amerika Serikat tidak mampu untuk memenuhi target dan berusaha untuk menegosiasikan kesepakatan baru untuk untuk mengekslusikan Amerika Serikat dari kesepakatan tersebut. Lima tahun setelah Earth Summit dilanjutkan dengan Protokol Kyoto untuk menindaklanjuti langkah-langkah yang telah dihasilkan di Earth Summit. Namun kali ini Amerika tidak ikut menandatangani kesepakatan tersebut.



Namun ada tulisan menarik dari Eileen Claussen, President dari Center for Climate and Energy Solutions, sebuah NGO yang mendedikasikan dalam penyediaan informasi yang kredibel dan membangun solusi inovatif dalam permasalahan perubahan iklim global. Dalam tulisaannya yang berjudul “Tackling Climate Change: Five Keys To Success”, ia menawarkan lima langkah untuk mengatasi tantangan perubahan iklim.

Kunci pertama untuk mengatasi hal tersebut adalah kita harus menjalin tanggapan global terhadap permasalahan perubahan iklim. Seperti telah diketahui bahwa Amerika Serikat bertanggung jawab atas seperempat dari emisi gas rumah kaca secara global. 15 negara Eropa bertanggung jawab atas seperempat lainnya dari emisi gas rumah kaca. Sisa dari emisi global tersebut terbagi dari negara-negara berkembang lainnya, terutama China dan India yang berkembang dengan sangat cepat. Harus terdapat tuntutan yang adil terhadap negara-negara industri untuk mengurangi emisi mereka, karena sebagian sumber emisi karbon baik yang lalu dan sekarang berasal dari negara-negara ini. Kita harus mengkaji lebih dalam siapa yang bertanggung jawab atas perubahan iklim, dan siapa yang akan menanggung beban dampaknya, dan kita harus sampai pada pembagian yang adil atas tanggung jawab ini untuk bisa mengatasinya. Dengan begitu, akan terbentuk kerangka baru yang mengaitkan tentang tujuan lingkungan dengan perekonomian dan pembangunan kita. Semua negara harus dapat. Semua negara harus setuju untuk menetapkan batas karbon yang mampu mereka terima dan tidak akan menghalangi upaya negara-negara lain untuk mempertahankan pertumbuhan perekonomiannya.

Kunci sukses yang kedua adalah kita harus dapat berpikir dari segi tindakan jangka pendek dan jangka panjang. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan sekarang untuk mengurangi emisi karbon, dan pada saat yang sama, kita perlu melihat ke depan untuk jangka yang lebih panjang. Tindakan jangka panjang perlu diperhatikan juga, karena untuk mencapai pengurangan emisi gas rumah kaca diperlukan sebuah inovasi masif untuk mengganti energi yang berasal dari bahan bakar fosil menjadi sumber energi yang ramah lingkungan.

Kunci sukses yang ketiga adalah industri harus dijadikan partner dalam membentuk dan mengimplementasikan solusi iklim. Menurut pengamatan Claussen, ternyata banyak industri yang berhasil menerapkan kebijakan pengurangan emisi industri mereka. Keberhasilan ini harus diapresiasi baik oleh pemerintah maupun masyarakat dan keberhasilan ini dapat diadvokasikan guna mendorong industri lain untuk menerapkan kebijakan pengurangan emisi industri mereka.

Kunci sukses yang keempat adalah kita harus mengadopsi secara nyata tentang tujuan yang wajib untuk dicapai. Tindakan sukarela saja tidaklah cukup untuk menghadapi tantangan perubahan iklim, untuk itu dibutuhkan pelibatan dalam spektrum yang lebih luas seperti industri dan masyarakat.  Diperlukan sebuah kebijakan yang jelas yang mengatur kewajiban untuk mengurangi emisi, dan pada saat diperlukan kebijaksanaan yang mengatur aturan bisnis yang ramah lingkungan pada perusahaan. Hal ini perlu dilakukan agar perusahaan menjadi fleksibel untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut dengan biaya seefektif mungkin.

Kunci yang terakhir adalah harus dilibatkannya Amerika Serikat sebagai bagian integral dari solusi perubahan iklim. Seperti yang kita ketahui, walaupun Amerika Serikat hanya memiliki 4% populasi dunia, tapi ia menyumbang hampir sepertiga dari emisi gas rumah kaca dari seluruh dunia. 


Daftar Pustaka: 
Walter Sinnott-Armstrong dan Richard B. Howarth (Ed.), Perspectives On Climate Change: Science, Economics, Politics, Ethics (USA: Elseiver, 2005) hlm 181-188



Sunday, May 20, 2012

Alunan Merdu Keroncong di Sudut Kota Tua Jakarta



Minggu, 20 Mei 2012

Akhir pekan yang menjadi hari akhir dari liburan yang cukup panjang selama 4 hari telah menimbulkan rasa kebosanan. Hari yang bertepatan dengan Hari Kebangkitan Bangsa ini seharusnya dapat dimanfaatkan penulis untuk menyicil tugas Ujian Akhir Semester yang bertumpuk yang tinggal 1 minggu lagi, tetapi apa daya penyakit yang biasa menghinggapi mahasiswa juga telah meracuni otak penulis. Penyakit malas dan belum munculnya niat untuk mengerjakan membuat penulis hanya bermalas-malasan di pagi hari dengan membaca beberapa tulisan dan mendengarkan lagu.

Entah kenapa pada pukul 10.00 muncul niat untuk jalan-jalan. Berhubung kostan penulis berada di depok, maka pilihan untuk destinasi jalan-jalan tidaklah cukup jauh, yaitu di Kota Tua Jakarta. Setengah jam kemudian penulis sudah siap untuk berangkat menuju Kota Tua Jakarta.

Museum Bank Indonesia


Sesampainya di sana, pilihan pun jatuh untuk mengunjungi Museum Bank Indonesia. Museum yang berada di kawasan kota tua ini berdiri dengan megahnya. Gaya arsitekturnya yang cukup tua mengingat bangunan ini dibangun pada tahun 1828. Bangunan museum ini merupakan cagar budaya peninggalan De Javasche Bank yang beraliran neo-klasikal dan berpadu dengan aliran lokal.

Museum ini menyajikan informasi peran Bank Indonesia dalam perjalanan sejarah bangsa yang dimulai sejak sebelum kedatangan bangsa barat di Nusantara hingga terbentuknya Bank Indonesia pada tahun 1953 dan kebijakan-kebijakan Bank Indonesia, meliputi pula latar belakang dan dampak kebijakan Bank Indonesia bagi masyarakat sampai dengan tahun 2005. Penyajiannya dikemas sedemikian rupa dengan memanfaatkan teknologi modern dan multi media, seperti display elektronik, panel statik, televisi plasma, dan diorama sehingga menciptakan kenyamanan pengunjung dalam menikmati Museum Bank Indonesia. Selain itu terdapat pula fakta dan koleksi benda bersejarah pada masa sebelum terbentuknya Bank Indonesia, seperti pada masa kerajaan-kerajaan Nusantara, antara lain berupa koleksi uang numismatik yang ditampilkan juga secara menarik.

Museum Bank Mandiri


Setelah puas mengelilingi Museum Bank Indonesia, penulis pun melanjutkan ke Museum Bank Mandiri yang berada disebelahnya. Museum yang menempati area seluas 10.039 meter persegi ini pada awalnya adalah gedung Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) atau Factorji Batavia yang merupakan perusahaan dagang milik Belanda yang kemudian berkembang menjadi perusahaan di bidang perbankan. Bangunan yang didirikan sejak 1933 ini juga tampak kokoh dan megah dengan arsitektur Niew Zakelijk atau Art Deco Klasik.

Koleksi museum yang terdiri dari berbagai macam koleksi yang terkait dengan aktivitas perbankan "tempo doeloe" dan perkembangannya. Koleksi yang dimiliki mulai dari perlengkapan operasional bank, surat berharga, mata uang kuno (numismatik), brandkast, dan lain-lain ini sayangnya berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Keadaan yang sangat timpang sekali dibandingkan dengan museum Bank Indonesia yang berada di sebelahnya. Jika kita masuk ke dalam museum ini maka akan merasakan udara yang cukup panas dan lembab akibat tidak adanya AC dan kurangnya sirkulasi udara di dalam museum. Pihak pengelola juga tidak membuat alur eksibisi galeri museum dalam sebuah alur yang menarik bagi para pengunjung. Bahkan penulis kebingungan untuk mencari loket masuk bagi para pengunjung. Setiap eksibisi museum tampak tidak terawat dan tidak dicantumkan keterangan tentang benda tersebut, sehingga hampir terlihat seperti onggokan sampah di dalam gudang. Udara yang lembab dan kondisi yang tidak terawat ini menurut penulis sangatlah cocok untuk lokasi uji nyali. hehe :D Yang lebih memprihatinkan lagi adalah tempat yang cukup luas dan tidak adanya petugas yang berjaga, membuat tempat ini diisi oleh anak-anak muda yang sekedar duduk berkumpul dan merokok di beberapa sudut ruangan di lantai atas. Kondisi ini tentu sangat tidak menyenangkan bagi para pengunjung yang benar-benar berminat untuk melihat museum ini. Penulis pun tidak lebih dari setengah jam berada di museum yang terlihat seperti tempat yang tidak terurus.

Berhubung sudah merasa lapar dan waktu menunjukkan pukul 14.00, maka penulis segera berjalan ke arah museum Fatahillah. Di sekitar museum ini banyak sekali beragam makanan yang dapat pengunjung nikmati. Setelah memilih berbagai makanan yang ada, maka pilihan penulis jatuh pada gado2. Gado2 khas Jakarta ini pun dapat dinikmati dengan harga yang cukup terjangkau, cukup Rp 9.000 saja dan perut sudah kenyang. :D

Sebenarnya masih terdapat 3 museum lagi yang berada di Kawasan kota tua, yaitu Museum Fatahillah, Museum Wayang dan Museum Seni Rupa dan Keramik. Penulis tidak sempat kesana karena sudah cukup lelah dan juga hari sudah semakin sore. Keadaan lapangan di sekitar museum Fatahillah pun semakin ramai oleh pengunjung dan pedagang. Berbagai atraksi juga digelar di lapangan yang cukup luas ini. Hal pertama yang penulis lihat adalah ada atraksi kuda lumping yang dilakukan kelompok tersebut. Kelompok kuda lumping ini terdiri dari beberapa orang yang terdiri dari beragam usia, ada yang cukup tua dan muda, bahkan ada yang masih bocah dibawah 10 tahun. Penulis tidak sempat mengabadikan foto pertunjukan tersebut karena berada di posisi jauh di belakang. Selain itu juga karena penulis tidak tega melihat bocah tersebut dicambuki oleh pawangnya, walaupun beberapa penonton terhibur dengan atraksi bocah tersebut. 

Waktu sudah menunjukkan pukul 15.00 dan penulis ingin segera meninggalkan kota tua ini. Namun dari jauh terdengar alunan merdu lagu keroncong di sudut lapangan museum Fatahillah. Penulis dengan semangatnya langsungng menuju tempat tersebut bagai anak kecil yang akan mendapatkan hadiah. Disana terdapat beberapa pemusik yang usia sudah cukup tua sedang memainkan alat musik keroncong dengan merdunya ditemani dengan penyanyi wanita setengah baya yang menyanyikan lagu keroncong yang mengalun indah. Setelah lagu tersebut selesai, selanjutnya tampil penyanyi yang menurut penulis lebih terlihat sebagai seorang preman tersebut sedang menyanyikan lagu dengan cukup merdu.








Setelah memperhatikan lebih jauh, ternyata grup ini merupakan sebuah komunitas pecinta keroncong yang menamakan dirinya sebagai keroncong Kota Tua Jakarta. Mereka tampil setiap hari Minggu mulai pukul 12.00 hingga 18.00. Yang menarik dari kelompok keroncong yang mayoritas pemainnya sudah menjadi aki-aki ini adalah mereka melakukan pertunjukkan tersebut dengan sukarela dan tanpa dibayar. Yang terlihat hanyalah sebuah kotak dari kardus yang bertulisan "Kotak Apresiasi" yang terkadang dimasukkan uang oleh pengunjung. Kelompok keroncong kota tua ini juga mengajak para penonton untuk bernyanyi dengan grup musik ini. Ada banyak sekali penonton yang menyumbangkan lagunya dan bernyanyi dengan kelompok keroncong ini. Lagu keroncong pun mulai mengalun dengan merdu mulai dari lagu jembatan merah, Bandung Selatan, Bandar Jakarta, Jali-Jali (karena hanya lagu ini yang penulis tau. hehe d: ), dan lain-lain. Tak terasa sudah hampir dua setengah jam penulis dibius dengan lantunan lagu keroncong yang dibawakan. Hari sudah mulai sore menunjukkan pukul 17.30, dan penulis segera pulang menuju Depok untuk bersiap melakukan aktivitas rutin sebagai mahasiswa esok harinya.

Sunday, April 29, 2012

Politik Kartel di Indonesia




Runtuhnya Orde Baru pada Mei 1998 telah membawa warna baru bagi perpolitikan di Indonesia. Indonesia melakukan konsolidasi demokratisasi yang ditandai dengan Pemilu DPR dan DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota yang serentak dilaksanakan pada 7 Juni 1999. Ini merupakan pemilu yang demokratis yang dirasakan Indonesia terakhir kali sejak tahun 1955. Berbagai macam partai politik mulai bermunculan dengan membawa berbagai macam ideologi sebagai platform-nya, ada membawa ideologi agama dan adapula yang sekuler. Penegasan ideologi dilakukan oleh partai politik guna mendulang suara dari para pemilih. Namun terdapat hal yang menarik ketika memasuki proses pembentukan pemerintahan, persaingan ideologi partai yang dikumandangkan saat pemilu seakan berhenti. Berbagai perbedaan ideologi dan tujuan dari partai politik kini bukanlah hal yang penting lagi. Kabinet yang dibentuk pun melibatkan semua partai di DPR yang mencakup partai Islam maupun moderat.

Pola yang sama terjadi lagi saat Pemilu 2004, perbedaan ideologi hanya menjadi alat jual guna mendulang suara tetapi tidak berlaku ketika masuk ke dalam pemerintahan. Dodi Ambardi berpendapat bahwa sejak era reformasi partai-partai di Indonesia telah membentuk sistem kepartaian yang mirip kartel. Ia juga menunjukkan bukti-bukti yang menguatkan ciri kartel dalam sistem kepartaian di Indonesia, yakni (1) hilangnya peran ideologi partai sebagai sebagai faktor penentu perilaku koalisi partai; (2) sikap permisif dalam pembentukan koalisi; (3) tiadanya oposisi; (4) hasil-hasil Pemilu hampir-hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik; dan (5) kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok. Kelima ini, khususnya yang kelima, berlawanan dengan sifat umum sistem kepartaian yang kompetitif.

Namun kartel dalam politik berbeda dengan kartel dalam ekonomi. Dan Slater menjelaskan, Dalam ilmu ekonomi, kartel berbeda dari pasar bahwa mereka akan menghancurkan pesaing dan mencekik pendatang baru yang potensial di pasar. Dalam politik, kartel berbeda dengan koalisi bahwa mereka mengkooptasi semua partai politik besar ke dalam sebuah aliansi nasional yang luas, dan meminggirkan partai-partai kecil yang berada diluar dalam prosesnya. Walaupun ini merupakan bentuk ideal untuk mencapai stabilitas, namun hal tersebut akan menjadi sebuah masalah dalam representatif.

Dodi Ambardi menjelaskan bahwa kartel ini dilakukan oleh partai politik demi menjaga keberlangsungan hidup mereka sebagai kepentingannya. Kelangsungan hidup partai-partai politik ini ditentukan oleh kepentingan bersama untuk menjaga berbagai sumber keuangan yang ada, terutama yang berasal dari pemerintah. Sumber keuangan partai yang dimaksud oleh Ambardi ini bukanlah uang pemerintah yang resmi dialokasikan untuk partai politik, melainkan uang pemerintah yang didapatkan oleh partai melalui perburuan rente. Tindakan ini hanya dapat dimungkinkan bila partai politik memiliki akses dalam jabatan pemerintahan dan parlemen. Kartz dan Mair berpendapat bahwa munculnya fenomena kartel politik akibat kebutuhan keuangan finansial partai politik yang semakin bergantung pada negara. Hal ini disebabkan oleh buruknya kemampuan mobilisasi keuangan partai politik melalui iuran anggotanya yang akibatnya adalah menjauhnya partai politik dari masyarakat dan mendekatkan partai pada negara.

Penelitian dari Katz dan Mair tentang partai kartel di Eropa juga dapat menjadi sebuah contoh yang relevan bagi perkembangan perpolitikan di Indonesia.  Mereka dapat menjelaskan dengan baik alasan mengapa partai politik menggunakan cara kartel. Sudah jelas dalam sistem demokrasi bahwa ada sebagian partai yang akan masuk dalam pemerintahan, sedangkan yang lainnya akan terlempar ke luar. Ada partai yang takut akan terlempar dari jabatannya akibat berubahnya suara pemilih. Namun dalam model politik kartel, tidak akan ada partai besar yang terlempar dari kekuasaan. Hal ini mengakibatkan semakin tidak jelas antara partai politik di pemerintahan dan partai politik yang menjadi oposan.

Jabatan Kabinet yang seharusnya menjadi pembantu presiden dalam menjalankan fungsi dalam memeberikan saran, membuat kebijakan dan mengeksekusi perintah dari Presiden, dapat dimanfaatkan oleh partai politik sebagai sumber finansial bagi partai politik. Tawar menawar antara partai politik dan Presiden terjadi untuk menempatkan calon dari partai politik di jabatan Menteri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pertimbangan determinan pencalonan seorang Menteri dari partai politik berdasarkan seberapa “basah” dalam posisi kementerian tersebut. Sektor-sektor Kementerian yang “basah” seperti Kementerian Keuangan, Energi, Industri, Transportasi, dan BUMN  menjadi tempat potensial bagi partai politik untuk menempatkan calonnya. Bahkan Kementerian yang terlihat “kering” seperti Kementerian Agama, dapat dijadikan sumber pendapatan bagi partai politik, tentunya dengan sedikit permainan muslihat. Dalam kasus Kementerian Agama, sumber pendapatan bisa berasal dari mandat penyimpanan dana haji.

Selain keuntungan bagi partai, posisi jabatan Menteri juga dirasakan oleh personal Menteri tersebut. Seorang Menteri juga akan menerima fasilitas yang mewah guna menjalankan fungsinya sebagai pembantu Presiden. Fasilitas-fasilitas sebagai seorang Menteri seperti mendapatkan mobil dinas yang mewah, kantor yang besar, gaji yang tinggi, dan kesempatan untuk mengangkat staf pribadi lebih banyak. Selain hal materi, seorang Menteri yang duduk dalam kabinet akan mendapatkan prestise yang tinggi dan otoritas membuat kebijakan.

Untuk merubah kartel politik yang telah terjadi di negara ini sangatlah sulit. Demokrasi yang berdasarkan atas persaingan yang kompetitif untuk terciptanya pemerintahan yang optimal dengan sistem check and balances, justru terjadi kartel yang dilakukan oleh partai politik untuk melanggengkan kekuasaan mereka di pemerintahan. Untuk merubah semua ini dibutuhkan tindakan kolektif yang melibatkan banyak partai, seperti terciptanya politik kartel yang membutuhkan tindakan kolektif juga.




Sumber:
- Dodi Ambardi, Mengungkap Politik Kartel (Jakarta: KPG, 2009)
- Dan Slater, “Indonesia’s Accountability Trap: Party Cartels and Presidential Power after Democratic Transition.” Indonesia 78 (October 2004)

Saturday, April 28, 2012

Demokrasi Mayoritarian atau Pluralis?: Seberapa Demokratiskah Amerika Serikat



Saat ini demokrasi telah mulai banyak dianut oleh banyak negara di berbagai belahan dunia. Seperti yang telah dijelaskan oleh Huntington bahwa demokrasi dalam dunia modern dimulai dari Revolusi Prancis dan Revolusi Amerika Serikat yang selanjutnya mulai menyebar ke berbagai negara di dunia dalam tiga gelombang besar, walaupun Huntington juga mencatat bahwa terdapat arus balik demokratisasi yang terjadi khususnya di Amerika Selatan. Kasus paling kontemporer adalah gelombang demokratisasi yang telah melanda Timur Tengah yang dimulai dari Tunisia dan mulai terjadi efek domino terhadap negara-negara tetangganya.
Setiap terbentuknya sebuah sistem pastilah ada role mode-nya, hal ini digunakan untuk mengukur seberapa bagus sistem tersebut ketika sedang berjalan. Begitu juga jika kita berbicara mengenai role mode dari demokrasi, jawaban yang terlintas hampir dapat dipastikan adalah Amerika Serikat. Namun seberapa demokratis-kah Amerika Serikat? Pertanyaan ini akan menjadi menarik ketika kita mengaitkan Amerika Serikat sebagai negara demokrasi dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya. Secara makna, kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani, demos yang berarti orang banyak atau rakyat dan  kratos yang berarti kekuasaan. Dapat kita katakan bahwa demokrasi adalah kekuasaan yang dipimpin oleh orang banyak atau rakyat. Kita tidak akan banyak membahas mengenai prototipe demokrasi Yunani yang memiliki banyak kecacatan, seperti tidak diikutsertakannya wanita dan budak.

Pemikiran tentang Demokrasi
Setidaknya saat ini terdapat dua mayoritas utama pemikiran mengenai demokrasi, yaitu demokrasi prosedural dan demokrasi substansi. Demokrasi prosedural melihat bahwa demokrasi adalah sebuah bentuk pemerintahan yang menekankan pada prosedur mengenai bagaimana orang-orang mendapat akses ke pemerintah. Pembahasan utamanya mengenai pertemuan dalam membahas suatu isu, pemungutan suara pada pemilihan umum, dan pencalonan diri sebagai pejabat publik. Dalam demokrasi prosedural  terdapat empat prisip utama, yaitu Universal Participation, suatu konsep bahwa setiap orang yang terlibat dalam demokrasi harus dapat berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan pemerintahan; Political Equality, yaitu terdapat kesetaraan dalam pemberian suara, satu orang satu suara, dengan keseluruhan suara yang dihitung dengan setara; Majority Rule, sebuah prinsip bahwa suatu kebijakan kelompok harus mencerminkan preferensi lebih dari setengah dari yang berpartisipasi; dan Ketanggapan pemerintah dalam memanajemen opini publik dan memformulasikan dalam membentuk suatu kebijakan. Namun pandangan prosedural ini memiliki beberapa kelemahan seperti akan terjadi bentrokan dengan hak minoritas, karena suara mereka akan kalah oleh mayoritas.
Sedangkan teoritisi demokrasi substansi berpandangan bahwa pemerintah seharusnya berfokus pada kebijakannya, bukan pada prosedur yang menyertai dalam proses pembuatan kebijakan tersebut. Para teoritisi sepakat bahwa kebijakan pemerintah harus bisa menjamin kebebasan sipil (seperti kebebasan beragama dan kebebasan berekspresi) dan hak sipil (pemerintah tidak dapat mengarbitrasi individu, seperti perlindungan terhadap diskriminasi dalam pekerjaan dan perumahan). Namun kesamaan pendapat ini akan berubah menjadi perbedaan yang tajam ketika pembahasan ini bergeser ke hak sosial (perawatan kesehatan yang memadai, kualitas pendidikan, perumahan yang layak) dan hak ekonomi (kepemilikan pribadi, pekerjaan tetap). Salah satu pihak menyatakan bahwa hak sosial dan hak ekonomi juga harus dapat dijamin oleh negara, sebagai salah satu pemenuhan syarat sebagai negara demokrasi. Namun pihak yang lain menyatakan bahwa manusia memang ditakdirkan berbeda dalam sosial dan ekonomi, dalam negara demokrasi tidak perlu tercapai kesetaraan dalam hak sosial dan hak ekonomi. Negara tidak perlu membuang anggarannya secara percuma untuk mensubsidi orang-orang yang kurang beruntung ini.
Jika kita kaji lebih jauh lagi, pemikiran tentang demokrasi di Amerika Serikat sudah masuk dalam demokrasi substansi. Ini dapat terlihat bahwa Amerika Serikat tidak hanya berkutat dalam masalah bagaimana prosedur untuk menjadi negara yang demokratis, tapi sudah masuk kedalam bentuk demokrasi substansi. Seperti kita ketahui, bahwa terdapat dua kubu partai politik yang saling berseteru di Amerika Serikat, yaitu Partai Demokrat yang liberal dan Partai Republik yang konservatif. Dalam ranah keadilan sosial, Partai Demokrat berpandangan bahwa harus terdapat kesetaraan sosial dalam masyarakat dengan cara meningkatkan pajak orang kaya dan perusahaan besar. Pajak tersebut yang nantinya dapat digunakan untuk membiayai program sosial yang didesain untuk membantu orang miskin dan kelas menengah. Justru terdapat pandangan sebaliknya dalam Partai Republik yang konservatif, mereka percaya bahwa keadilan yang lebih baik berasal dari masyarakat yang tidak diregulasi dan bebas berkompetisi. Partai Republik menentang redistribusi kekayaan atau usaha lainnya untuk menyetarakan hasil dianatara individu, mereka lebih menekankan pada kesempatan yang sama untuk menjadi sukses. Dari penjabaran diatas dapat terlihat bahwa Amerika Serikat termasuk dalam demokrasi substansi yang berfokus pada hasil kebijakan negara.

Model Institusional Negara Demokrasi

Negara demokrasi membutuhkan model institusi untuk mewujudkan pemerintahan yang representatif dalam pemilihan pejabat untuk membuat kebijakan. Negara demokratis harus dapat mengakomodasi berbagai kepentingan, sehingga dibutuhkan mekanisme institusional yang dapat mengubah opini publik menjadi sebuah kebijakan negara. Beberapa teoritisi demokrasi mendukung sebuah institusi yang memiliki ikatan yang erat antara kebijakan pemerintah dengan keinginan mayoritas penduduk. Sedangkan teoritisi lainnya beranggapan bahwa masalah mayoritas dan ketanggapan sebagai sesuatu yang kurang penting. Teoritisi ini tidak berprinsip pada opini masyarakat, tetapi mereka mendukung sebuah institusi yang mengizinkan sekelompok masyarakat untuk mempertahankan kepentingannya dalam proses pembuatan kebijakan publik. Dengan kata lain, nilai model mayoritarian terletak pada partisipasi rakyat secara umum, dan nilai model pluralis pada partisipasi orang dalam suatu kelompok kepentingan.
Amerika Serikat walaupun memiliki sistem pemerintahan majority rule, namun tidak menafikan adanya hak minoritas dalam menyalurkan kepentingannya dalam proses kebijakan publik. Misalnya adalah hak untuk memilih bagi perempuan dalam pemilihan umum pada 1964, serta African-American Civil Rights Movement pada tahun 1955–1968. Jadi dalam model institusi Amerika Serikat lebih condong kepada model Pluralis, dilihat dari sejarahnya banyak sekali perjuangan kepentingan yang berbasiskan kelompok.
Namun menurut Kenneth Janda model institusional plural yang berbasiskan kelompok dapat menimbulkan eksternalitas munculnya kelompok elit. Kelompok minoritas dapat berkuasa terhadap mayoritas dengan beberapa kelebihannya seperti kekayaan dan koneksi untuk melobi pemerintah. Kelompok minoritas Wall Street dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi. Kelompok Wall Street yang minoritas jika dibandingkan dengan total rakyat Amerika Serikat ini dapat mempengaruhi kebijakan Amerika Serikat, bahkan dunia dalam hal deregulasi finansial. Deregulasi finansial ini sangat menguntungkan kelompok Wall Street hingga terbentuknya bubble economy yang akhirnya pecah dan menimbulkan krisis yang parah pada tahun 2008 silam.
Namun apapun pilihan model demokrasi yang dipilih, tetap tidak ada yang terbaik diantara pilihan tersebut. Penulis disini beranggapan bahwa demokrasi hanyalah sebuah alat untuk mencapai fruit of Democracy, yakni kesejahteraan manusia.


Sumber:
- Kenneth Janda et., al., The Challange of Democracy: Government in America (Boston: Houghton Mifflin, 2002)

Debate: Democrats vs. Republicans, diakses dari http://debatepedia.idebate.org/en/index.php/Debate:_Democrats_vs._Republicans

Sonia Pressman Fuentes, The Women's Rights Movement: Where It's Been, Where It's At, diakses dari http://userpages.umbc.edu/~korenman/wmst/womens_rights.html 

Voting Rights and African Americans, diakses dari http://academic.udayton.edu/race/04needs/98newburg.htm 

Wednesday, April 25, 2012

Politik Lingkungan dalam Dimensi Internasional



Sejak awal tahun 1970an telah banyak muncul isu mengenai masalah lingkungan. Masalah-masalah tersebut tidak bisa semata-mata dikerjakan pada tingkat nasional saja. Karena negara tidak bisa bertindak sendirian untuk menyelesaikan banyak permasalahan lingkungan yang sedang dihadapi. Secara normatif, negara-negara yang ada seharusnya dapat menciptakan sebuah rezim internasional yang berusaha untuk menyelesaikan permasalahan mulai dari penipisan ozon dan pemanasan global sampe hilangnya keanekaragaman hayati dan masalah limbah beracun.
Secara garis besar, perpolitikan internasional dapat dibedakan dengan konflik lingkungan yang terjadi antara Negara-negara Utara dan Negara-negara Selatan. Konflik-konflik yang terjadi pada umumnya berkisar masalah ekonomi global, populasi dan konsumsi sumber daya alam serta kedaulatan secara signifikan. Negara-negara Utara yang mendapatkan keuntungan dari persiapan ekonomi yang telah mapan, cenderung untuk mengartikan bahwa masalah lingkungan itu berbeda dari hubungan perekonomian yang ada. Permasalahan lingkungan dipandang sebagai masalah teknis yang dapat diatasi tanpa perlu mengubah struktur dari sistem perekonomian global, tanpa perlu mengargumenkan prinsip pasar bebas dan logika akumulasi modal. Dalam pandangan penganalisa lingkungan, Negara-negara Utara dan Selatan harus merestukturisasi perekonomian secara radikal. Negara-negara Utara harus mengurangi tingkat konsumsinya dan Negara-negara Selatan diharuskan untuk melakukan pembangunan yang berkelanjutan dan menyediakan kebutuhan bagi populasinya.
Namun menurut studi yang dilakukan dan digunakan oleh Negara-negara Selatan bahwa konsumsi yang dilakukan Negara-Negara Utara lebih berpengaruh untuk menciptakan kerusakan lingkungan sekarang ini. Sebagai contoh adalah soal penggunaan bahan bakar fosil, terdapat perbedaan yang sangat curam dalam penggunaan emisi karbon fosil perkapita. Amerika Serikat mengeluarkan sekitar 5.7 ton karbon per orang setiap tahun, sedangkan India mengeluarkan hanya sekitar 0.4 ton. Dengan kata lain, Richard Falk menyatakan fakta bahwa 85 persen pendapatan dunia hanya dinikmati oleh 23 persen penduduk dunia yang hidup di Utara, sedangkan 77 persen sisa populasi di Selatan hanya memperebutkan 23 persen kekayaan yang tersisa.
Konflik selanjutnya yang sering terjadi adalah permasalahan kedaulatan. Negara-negara Selatan melihat bahwa Negara-negara Utara berusaha menekan mereka untuk melakukan pembangunan berkelanjutan dan memasukan permasalahan lingkungan sebagai agenda pembangunannya. Hal ini tentu akan memberatkan Negara-negara Selatan, sebab mereka ditekan untuk menyejahterakan masyarakatnya namun di sisi lain mereka ditekan untuk memperhatikan lingkungannya. Ironi dengan Negara-negara Utara sebagai penyebab determinan dari kerusakan lingkungan yang hanya dituntut untuk mengurangi konsumsinya saja.

Prinsip kedua dari Rio Declaration, menyatakan bahwa Negara dalam hukum internasional adalah pemiliki kedaualatan untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya yang mengikuti kebijakan lingkungan dan pembangunan mereka. Permasalahan inilah yang dipandang oleh kelompok peduli lingkungan bahwa dibutuhkannya sebuah otoritas kedaulatan diatas Negara untuk bisa mengatur permasalahan lingkungan. Hal ini dibutuhkan untuk melindungi negara-negara tersebut dari degradasi lingkungan yang akan mengurangi kualitas hidup manusia. Permasalahan lingkungan tentu akan bertentangan dengan pembangunan ekonomi di negara-negara seperti Indonesia, Brazil, dan China yang sedang memacu pertumbuhan perekonomiannya. Maka sangatlah dibutuhkan transfer teknologi dan bantuan finansial agar negara-negara ini bisa melindungi lingkungannya.
Selain dominasi antara Negara-negara Utara terhadap Negara-negara Selatan, kini munculah Transnational Corporation (TNCs). Menurut analis peduli lingkungan aktor baru yang muncul ini akan menjadi hambatan dalam menghadapi pembangunan yang efektif dari rezim berbasiskan lingkungan. Hal ini bermula dari Konferensi Bretton Woods pada tahun 1944, setelah berakhirnya Perang Dunia II Amerika Serikat melihat bahwa tata tertib perekonomian dunia kedepannya akan berbasiskan pada prinsip pasar bebas. Berdasarkan Konferensi Bretton Woods maka dibentuklah institusi seperti World Trade Organisation (WTO), International Monetary Fund (IMF) dan World Bank. Lembaga-lembaga ini berfungsi untuk memberikan modal pinjaman bagi berbagai negara yang membutuhkan dengan syarat harus menderegulasikan sistem keuangan mereka, dengan kata lain harus menerima prinsip pasar bebas. Hal tersebut semakin terlihat perbedaannya pada akhir tahun 1990an, terbentuknya iklim perekonomian global dan masuknya TNC dan pasar keuangan global.
Mereka memakai prinsip trickle down effect bahwa kemajuan perekonomian Negara-negara Utara akan terasa di Negara-negara Selatan semakin dipertanyakan. Kenyataannya adalah muncul krisis hutang pada tahun 1980an, kebijakan kondisi pembayaran dan penyesuaian struktural, jarak antara negara kaya dan negara miskin semakin jauh. Sumber daya alam di Negara-negara Selatan secara konsisten telah dieksploitasi untuk membantu menyeimbangkan defisit pembayaran.
WTO sebagai institusi keuangan global berhasil memproteksi perekonomian Negara-negara Utara dan disaat yang sama menghilangkan hambatan perdagangan di Negara-negara Selatan. Contohnya dengan melakukan kebijakan trade-related investment measures (TRIMS) dan trade-related property right (TRIPS). TRIMS telah membuka sektor finansial dan asuransi dunia, sektor perekonomian yang sensitif dimana perusahaan Negara-negara Utara dalam posisi mendominasi. Sedangkan TRIPS memperbolehkan perusahaan untuk mengambil paten dari berbagai material biologis. Peter Wilkin berpendapat bahwa TRIPS memungkinkan TNCs Negara-negara Utara untuk mengambil paten dari berbagai materi genetik, agrikultural, dan obat-obatan parmasi yang aslinya secara praktik historis adalah kepunyaan dari petani Negara-negara Selatan, kominitas dan yang lainnya. Dengan memiliki hak paten yang terjamin, TNC yang berbasiskan Negara-negara Utara akan bebas untuk menjual komoditas tersebut kembali lagi ke Negara-negara Selatan dengan harga yang menguntungkan. Dengan kata lain Negara-negara Utara berusaha melakukan tindakan untuk merubah sistem dengan mendapatkan keuntungan (dalam ekonomi) untuk mereka.

Monday, April 16, 2012

Globalisasi adalah Keniscayaan ataukah Mitos: Sebuah Perdebatan Akademis



Berbicara tentang globalisasi, tentu hampir bisa dipastikan apa yang dipikirkan setiap orang akan berbeda-beda. Sampai saat ini belum ada definisi globalisasi yang secara umum dapat diterima secara luas, kecuali hanya gambaran umum saja mengenai globalisasi, seperti “peningkatan keterkaitan global”, “intensifikasi yang cepat dalam relasi sosial budaya”, “pemampatan ruang dan waktu”, “serangkaian proses yang kompleks, yang didorong oleh pengaruh ekonomi dan politik”, dan “perpindahan dan arus yang relatif tak terbendung dalam hal modal, orang, dan gagasan yang melintasi batas-batas negara”.

Banyak perdebatan yang terjadi diantara akademisi mengenai definisi tentang globalisasi, diantaranya ada yang bersikap skeptis tentang definisi globalisasi dan yang lainnya berusaha memaknai globalisasi dari paradigma tertentu. Terdapat tiga kelompok ilmuwan yang bersikap skeptis mengenai definisi globalisasi. Kelompok Pertama beranggapan bahwa penggunaan istilah globalisasi yang kabur dalam wacana akademik. Mereka beranggapan bahwa istilah globalisasi digunakan oleh ideolog dengan nilai dan makna yang meneguhkan agenda politik mereka sendiri. Kelompok Kedua beranggapan bahwa proses globalisasi terjadi hanya terbatas pada wilayah tertentu saja. Mereka beranggapan bahwa pada dasarnya globalisasi adalah fenomena ekonomi dan segala penigkatan aktivitas ekonomi transnasional ini tampaknya hanya terbatas pada negara-negara industri maju. Kelompok Ketiga berpendapat bahwa proses globalisasi bukanlah sesuatu yang baru. Menurut mereka proses globalisasi telah berlangsung sejak lima abad silam dalam bentuk kolonialisme dan imperialisme.

Selain itu sebagian ilmuwan globalisasi merupakan sebuah fenomena yang terjadi dilihat dari sudut proses ekonomil, politik, dan kultural. Globalisasi sebagai proses ekonomi berpandangan bahwa esensi dari globalisasi adalah meningkatnya keterkaitan ekonomi nasional melalui perdagangan, aliran keuangan, dan investasi langsung melalui perusahaan-perusahaan multinasional. Selain itu, terjadi perubahan aliran teknologi, perdagangan, dan investasi yang melintasi batas negara menjadi semakin deras. Mereka menggunakan pendekatan institusionalisme yang mengacu pada pendirian organisasi-organisasi ekonomi internasional seperti, International Monetary Fund (IMF), World Bank, World Trade Organization (WTO), dan Trans-national corporations.

Terdapat empat pandangan yang berbeda melihat globalisasi dalam paradigma politik. Kelompok Pertama berpandangan bahwa politik dibuat nyaris tidak berdaya menghadapi kedigdayaan tekno-ekonomi yang dapat menghancurkan fungsi pemerintah dalam hal kebijakan dan regulasi. Kombinasi antara kepentingan ekonomi dan inovasi teknologi yang membuat peran pemerintah tereduksi menjadi kaki-tangan pasar bebas. Kelompok Kedua menolak determinasi ekonomi terhadap politik. Menurutnya, yang ada hanyalah keputusan politik yang dibuat pemerintah untuk mengurangi restriksi internasional pada modal, karena pandangan ini bersandar filosofis dari agen manusia yang aktif. Kelompok Ketiga, mereka beranggapan bahwa globalisasi didorong dari kombinasi percampuran dari faktor teknologi dan politik. Dalam hal ini bisa teknologi yang akan mempengaruhi politik, atau sebaliknya politik yang akan mempengaruhi teknologi. Kelompok Keempat, melihat globalisasi politik terutama sebagai perspektif tatanan global (global governance). Hal ini terkait bagaimana respon berbagai negara dan lembaga multilateral terhadap aliran transnasional sistem politik dan ekonomi yang melintasi batas wilayah negara. Globalisasi akan menyingkirkan kedaulatan pemerintahan nasional, sehingga mengurangi relevansi negara-bangsa.

 Globalisasi sebagai proses kultural, para pendukungnya beranggapan bahwa terdapat hubungan antara proses globalisasi dengan perubahan kultural kontemporer. Arus kultural global dikendalikan oleh perusahaan media internasional yang memanfaatkan berbagai teknologi informasi mutakhir untuk membentuk masyarakat dan identitas. Ketika citra dan gagasan tersebut dialirkan dengan cepat dan mudah antara satu tempat dan tempat lainnya, maka proses tersebut akan berdampak besar pada cara orang dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Setidaknya terdapat lima dimensi konseptual atau “landscape” yang dibentuk oleh arus kultural global: etnoscapes (perpindahan populasi yang melahirkan turis, imigran, pengungsi, dan pelarian); technoscapes (perkembangan teknologi yang mendorong bangkitnya Trans-national corporations); finanscapes (aliran kapital global); mediascapes (kemampuan elektronik untuk memproduksi dan menyebarkan informasi); dan ideoscapes (ideologi-ideologi) negara dan gerakan sosial) 

Friday, April 6, 2012

Politik Perburuhan Pasca Orde Baru


Abis ngerjain UTS Politik Perburuhan dan Hubungan Industrial dan belom bisa tidur. Iseng-iseng buka Blogspot sambil bikin desain blog yang dari dulu belom selesai-selesai karena males ngurusnya. hehe :D Berhubung baru selesai ngerjain tugas, sekalian diposting aje sebagai bahan postingan gw di blok ini. Check This Out!





Jatuhnya Orde Baru oleh gerakan reformasi sebagai reaksi terhadap krisis multidimensional seperti krisis ekonomi, sosial, dan politik yang diakibatkan karena berbagai sebab yang kompleks, termasuk membengkaknya hutang luar negeri, kredit perbankan yang tidak terkendali, pemusatan kekuasaan eksekutif, merajalelanya korupsi-kolusi nepotisme (KKN), ekonomi biaya tinggi, konglomerasi. Selain itu terdapat semangat privatisasi, liberalisasi, ekonomi pasar, makin tingginya kesadaran akan hak asasi manusia, dan tuntutan demokratisasi.[1] Seluruh faktor tersebut saling terkait dalam hubungan yang kompleks hingga mencapai titik kulminasi jatuhnya Presiden Soeharto pada Mei 1998.

Sebelumnya Serikat Pekerja pada era Orde Baru berusaha untuk diciptakan homogenitas, keseragaman, kesatuan asas, dan kesamaan interpretasi. Semua itu dilakukan atas semangat persatuan dan kesatuan yang bahkan sering terkesan dipaksakan. Dengan adanya penyederhanaan partai politik di era Orde Baru maka hal tersebut juga berdampak pada penyederhanaan dalam organisasi kemasyarakatan termasuk organisasi pekerja. Namun disisi lain dengan adanya penyederhanaan partai politik juga berdampak pada kemandirian Serikat Pekerja karena mereka tidak terikat atau tergantung pada partai politik. Jika sebelumnya Serikat Pekerja merupakan underbow partai politik, kini mereka bebas menentukan asas, tujuan, dan kebijaksanaan sendiri. Momentum penyederhanaan dan penyatuan Serikat Pekerja juga dimanfaatkan oleh para pimpinan dan aktivis Serikat Pekerja untuk membentuk persatuan dan kesatuan Serikat Pekerja seluruh Indonesia, yaitu lahirnya Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) pada 20 Februari 1973 dengan Agus Sudono sebagai ketuanya.[2] Namun seiring perkembangannya, FBSI ini bertransformasi menjadi Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI) pada Oktober 1994.[3] Walaupun buruh dapat disatukan dalam sebuah kesatuan, namun hal itu tidak membuat Federasi Serikat Buruh dapat meningkatkan posisi tawarnya terhadap pemerintah dan pengusaha. Asosiasi buruh ini tidak lain hanya digunakan sebagai perpanjangan tangan bagi pemerintah untuk dapat lebih mengontrol kekuatan buruh. Hal ini sama dengan penggunaan asosiasi pengusaha, Kamar Dagang Indonesia (KADIN), yang digunakan oleh rezim Orde Baru agar dapat mengontrol kekuatan pengusaha.

Bersamaan dengan jatuhnya Orde Baru, mulai banyak didengungkan reformasi di segala bidang, salah satunya di bidang ketenagakerjaan. Pada hakekatnya reformasi adalah proses perubahan, koreksi atau perbaikan yang cukup mendasar menyangkut bentuk yang tidak sesuai untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai serta prinsip pokok yang hendak dilaksanakan. Untuk mencapai semua itu salah satunya adalah adanya jaminan hukum di bidang ketenegakerjaan. Pertama, adalah kebebasan untuk mendirikan Serikat Pekerja Baru di luar SPSI. Dalam pelaksanaannya dilakukan dengan cara mencabut Kepmenaker No. 3 Tahun 1993 yang digantikan dengan Kepmenaker No. 05 Tahun 1998 yang memberikan kemudahan organisasi pekerja untuk didaftarkan sebagai Serikat Pekerja secara resmi. Dalam Permenaker No. 5 Tahun 1998 tersebut diatur juga mengenai pendaftaran ulang bagi Serikat Pekerja yang telah terdaftar sebelumnya. Namun seiring dengan perubahan-perubahan mendasar di bidang Hubungan Industrial, Pemerintah akhirnya mencabut Permenaker No. 05 Tahun 1998 karena dianggap bertentangan dengan kebebasan berserikat. Dalam sidang Pleno LKS Tripartit, pemerintah menetapkan Kepmenaker No. 201/MEN/1999 tentang Organisasi Pekerja.[4] Dalam Kepmenaker No. 201/MEN/1999 dikatakan bahwa Organisasi Pekerja adalah organisasi yang dibentuk secara sukarela dari, oleh dan untuk pekerja guna memperjuangkan hak dan kepentingan kaum pekerja. Organisasi Pekerja mempunyai sifat mandiri, demokratis, bebas, dan bertanggung jawab. Selain itu Kepmenaker tersebut juga mengatur pendaftaran serikat pekerja dengan mencantumkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga; susunan dan nama pengurus; daftar nama pekerja yang menjadi anggota, dan; surat pernyataan pekerja dan alamat pekerja.[5] Dengan adanya Serikat Pekerja yang semakin terpolarisasi, pada dasarnya dimaksudkan agar Serikat Pekerja dapat tumbuh dan berkembang sehingga mampu bersaing secara positif untuk menciptakan hubungan industrial yang harmonis dan mendorong kemajuan usaha dalam rangka mempercepat proses peningkatan daya saing ekonomi di pasar internasional.

Kedua, yaitu agar dapat melaksanakan pemberian lebih banyak kebebasan dan kesempatan untuk mengekspresikan pendapat pekerja dalam memperjuangkan perbaikan atau peningkatan kesejahteraan anggotanya. Salah satu langkah tersebut dilakukan dengan cara meratifikasi Konvensi ILO No.87 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan terhadap hak organisasi (ILO Convention concerning freedom of association and protection of the right to organize) melalui Keppres No. 83 Tahun 1998. Dengan meratifikasi Konvensi ILO No. 87 maka Indonesia mengakui bahwa prinsip Serikat Pekerja telah sesuai dengan peratuaran perundang-undangan untuk melakukan kegiatan. Dengan kehadiran Serikat Pekerja di perusahaan, mereka harus mampu melindungi, menyalurkan aspirasi serta meningkatkan kemampuan para pekerja sehingga kesejahteraan para pekerja dan keluargannya dapat meningkat.[6]

Setidaknya terdapat tiga buah Undang-Undang Ketenagakerjaan yang diharapkan menciptakan iklim kondusif bagi tercerminnya kebebasan berserikat dalam dunia ketenagakerjaan yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, Undag-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) serta beberapa peraturan perundang-undangan dan Keputusan Menteri lainnya. Perangkat hukum tersebut memastikan komitmen pemerintah Indonesia untuk merealisasikan pengakuan terhadap ketentuan ketenagakerjaan internasional mengenai prinsip-prinsip serta hak-hak mendasar ditempat kerja. Hal tersebut dilakukan dengan meratifikasi beberapa konvensi inti organisasi perburuhan internasional (ILO) dalam rangka menciptakan iklim hubungan industrial yang kondusif sesuai dengan tuntutan masyarakat. Undang-undang tersebut dapat digunakan sebagai instrumen memperkuat hak berserikat maupun berunding bersama, dan pada saat yang sama saling menjaga, memelihara hubungan industrial yang harmonis agar tetap kondusif bagi perbaikan ekonomi bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Salah satu tantangan dari ketenagakerjaan dan hubungan industrial adalah dengan diberikannya kebebasan bagi para pekerja untuk mendirikan Serikat Pekerja. Di satu sisi hal tersebut cukup baik untuk menciptakan persaingan yang positif, namun disisi lain hal tersebut justru melemahkan pihak buruh ketika melakukan perundingan tripartit. Misalnya perwakilan buruh di Dewan Pengupahan akan terpecah menjadi beberapa Serikat Pekerja yang menjadi anggotanya. Berbeda dengan wakil dari pengusaha, yaitu APINDO, dan pemerintah yang terwakili dalam satu suara. Terpecahnya wakil dari buruh tentu akan melemahkan posisi tawar dalam perundingan tripartit, khususnya dalam masalah ketenagakerjaan.

Tantangan lainnya berasal dari buruh kontrak. Undang-Undang Nomor 13 selain membawa keterjaminan hak parah buruh, namun juga membawa ketidakadilan bagi buruh. Sistem kontrak setidaknya melemahkan posisi buruh dalam mendapatkan jaminan pekerjaan dan kesejahteraan. Selain itu dengan sistem kontrak akan menghalangi buruh untuk naik pangkat dalam karier pekerjaan mereka sehingga kesejahteraan buruh hanya akan berkutat di satu titik tanpa adanya kenaikan.


[1] Sentanoe Kertonegoro, Gerakan Serikat Pekerja (Trade Unionism): Studi Kasus Indonesia dan Negara-Negara Industri (Jakarta: Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, 1999) hlm 21
[2] Yunus Shamad, Hubungan Industrial di Indonesia (Jakarta: PT Bina Sumberdaya Manusia, 1995) hlm 95-98
[3] Sentanoe Kertonegoro, Op., Cit., hlm 20
[4] Sutan Makmur Muins, Dampak Kebebasan Berserikat Bagi Perlindungan Organisasi di Perusahaan, dalam Jurnal Ketenagakerjaan Vol. 3 – No. 1- Edisi Januari – Juni 2008, diakses dari http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/31081126.pdf pada tanggal 14 April 2012 pukul 23.05
[5] Lebih jelas lihat Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor KEP-201/MEN/1999 tentang Organisasi Pekerja.
[6] Sutan Makmur Muins, Op., Cit.,