Wednesday, May 23, 2012

Mengatasi Perubahan Iklim: Lima Kunci Untuk Sukses



Suka atau tidak suka, pemanasan global sedang berlangsung saat ini. Ini merupakan sebuah tantangan bagi kita di abad ke 21, karena pemanasan global akan berdampak pada bagaimana kita hidup dan bekerja, serta kan menyentuh setiap aspek perekonomian kita dan hidup kita. Kita sudah tidak hidup di dunia fantasi dimana kita percaya bahwa tidak ada yang berubah, kita sudah harus menerima apa yang dikatakan para ilmuwan tentang apa yang telah terjadi di bumi kita.

Berbagai perjanjian internasional telah dilaksanakan oleh negara-negara di dunia untuk mengurangi emisi karbon yang ada. Pada tahun 1992  sebanyak 150 negara berkumpul di Rio de Janeiro untuk menghadiri United Nations Conference on Environment and Development, yang kita kenal dengan Earth Summit. Mereka semua sepakat dan ikut menandatangani perjanjian yang disebut dengan United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Perjanjian ini adalah sebuah bentuk ambisi jangka panjang dari para negara-negara tersebut untuk mengurangi gas rumah kaca di atmosfer guna mencegah perubahan iklim.

Pada awalnya para negara industrialis sepakat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka hingga tahun 2000. Namun sebelum seiring perjalanan waktu, Amerika Serikat tidak mampu untuk memenuhi target dan berusaha untuk menegosiasikan kesepakatan baru untuk untuk mengekslusikan Amerika Serikat dari kesepakatan tersebut. Lima tahun setelah Earth Summit dilanjutkan dengan Protokol Kyoto untuk menindaklanjuti langkah-langkah yang telah dihasilkan di Earth Summit. Namun kali ini Amerika tidak ikut menandatangani kesepakatan tersebut.



Namun ada tulisan menarik dari Eileen Claussen, President dari Center for Climate and Energy Solutions, sebuah NGO yang mendedikasikan dalam penyediaan informasi yang kredibel dan membangun solusi inovatif dalam permasalahan perubahan iklim global. Dalam tulisaannya yang berjudul “Tackling Climate Change: Five Keys To Success”, ia menawarkan lima langkah untuk mengatasi tantangan perubahan iklim.

Kunci pertama untuk mengatasi hal tersebut adalah kita harus menjalin tanggapan global terhadap permasalahan perubahan iklim. Seperti telah diketahui bahwa Amerika Serikat bertanggung jawab atas seperempat dari emisi gas rumah kaca secara global. 15 negara Eropa bertanggung jawab atas seperempat lainnya dari emisi gas rumah kaca. Sisa dari emisi global tersebut terbagi dari negara-negara berkembang lainnya, terutama China dan India yang berkembang dengan sangat cepat. Harus terdapat tuntutan yang adil terhadap negara-negara industri untuk mengurangi emisi mereka, karena sebagian sumber emisi karbon baik yang lalu dan sekarang berasal dari negara-negara ini. Kita harus mengkaji lebih dalam siapa yang bertanggung jawab atas perubahan iklim, dan siapa yang akan menanggung beban dampaknya, dan kita harus sampai pada pembagian yang adil atas tanggung jawab ini untuk bisa mengatasinya. Dengan begitu, akan terbentuk kerangka baru yang mengaitkan tentang tujuan lingkungan dengan perekonomian dan pembangunan kita. Semua negara harus dapat. Semua negara harus setuju untuk menetapkan batas karbon yang mampu mereka terima dan tidak akan menghalangi upaya negara-negara lain untuk mempertahankan pertumbuhan perekonomiannya.

Kunci sukses yang kedua adalah kita harus dapat berpikir dari segi tindakan jangka pendek dan jangka panjang. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan sekarang untuk mengurangi emisi karbon, dan pada saat yang sama, kita perlu melihat ke depan untuk jangka yang lebih panjang. Tindakan jangka panjang perlu diperhatikan juga, karena untuk mencapai pengurangan emisi gas rumah kaca diperlukan sebuah inovasi masif untuk mengganti energi yang berasal dari bahan bakar fosil menjadi sumber energi yang ramah lingkungan.

Kunci sukses yang ketiga adalah industri harus dijadikan partner dalam membentuk dan mengimplementasikan solusi iklim. Menurut pengamatan Claussen, ternyata banyak industri yang berhasil menerapkan kebijakan pengurangan emisi industri mereka. Keberhasilan ini harus diapresiasi baik oleh pemerintah maupun masyarakat dan keberhasilan ini dapat diadvokasikan guna mendorong industri lain untuk menerapkan kebijakan pengurangan emisi industri mereka.

Kunci sukses yang keempat adalah kita harus mengadopsi secara nyata tentang tujuan yang wajib untuk dicapai. Tindakan sukarela saja tidaklah cukup untuk menghadapi tantangan perubahan iklim, untuk itu dibutuhkan pelibatan dalam spektrum yang lebih luas seperti industri dan masyarakat.  Diperlukan sebuah kebijakan yang jelas yang mengatur kewajiban untuk mengurangi emisi, dan pada saat diperlukan kebijaksanaan yang mengatur aturan bisnis yang ramah lingkungan pada perusahaan. Hal ini perlu dilakukan agar perusahaan menjadi fleksibel untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut dengan biaya seefektif mungkin.

Kunci yang terakhir adalah harus dilibatkannya Amerika Serikat sebagai bagian integral dari solusi perubahan iklim. Seperti yang kita ketahui, walaupun Amerika Serikat hanya memiliki 4% populasi dunia, tapi ia menyumbang hampir sepertiga dari emisi gas rumah kaca dari seluruh dunia. 


Daftar Pustaka: 
Walter Sinnott-Armstrong dan Richard B. Howarth (Ed.), Perspectives On Climate Change: Science, Economics, Politics, Ethics (USA: Elseiver, 2005) hlm 181-188



Sunday, May 20, 2012

Alunan Merdu Keroncong di Sudut Kota Tua Jakarta



Minggu, 20 Mei 2012

Akhir pekan yang menjadi hari akhir dari liburan yang cukup panjang selama 4 hari telah menimbulkan rasa kebosanan. Hari yang bertepatan dengan Hari Kebangkitan Bangsa ini seharusnya dapat dimanfaatkan penulis untuk menyicil tugas Ujian Akhir Semester yang bertumpuk yang tinggal 1 minggu lagi, tetapi apa daya penyakit yang biasa menghinggapi mahasiswa juga telah meracuni otak penulis. Penyakit malas dan belum munculnya niat untuk mengerjakan membuat penulis hanya bermalas-malasan di pagi hari dengan membaca beberapa tulisan dan mendengarkan lagu.

Entah kenapa pada pukul 10.00 muncul niat untuk jalan-jalan. Berhubung kostan penulis berada di depok, maka pilihan untuk destinasi jalan-jalan tidaklah cukup jauh, yaitu di Kota Tua Jakarta. Setengah jam kemudian penulis sudah siap untuk berangkat menuju Kota Tua Jakarta.

Museum Bank Indonesia


Sesampainya di sana, pilihan pun jatuh untuk mengunjungi Museum Bank Indonesia. Museum yang berada di kawasan kota tua ini berdiri dengan megahnya. Gaya arsitekturnya yang cukup tua mengingat bangunan ini dibangun pada tahun 1828. Bangunan museum ini merupakan cagar budaya peninggalan De Javasche Bank yang beraliran neo-klasikal dan berpadu dengan aliran lokal.

Museum ini menyajikan informasi peran Bank Indonesia dalam perjalanan sejarah bangsa yang dimulai sejak sebelum kedatangan bangsa barat di Nusantara hingga terbentuknya Bank Indonesia pada tahun 1953 dan kebijakan-kebijakan Bank Indonesia, meliputi pula latar belakang dan dampak kebijakan Bank Indonesia bagi masyarakat sampai dengan tahun 2005. Penyajiannya dikemas sedemikian rupa dengan memanfaatkan teknologi modern dan multi media, seperti display elektronik, panel statik, televisi plasma, dan diorama sehingga menciptakan kenyamanan pengunjung dalam menikmati Museum Bank Indonesia. Selain itu terdapat pula fakta dan koleksi benda bersejarah pada masa sebelum terbentuknya Bank Indonesia, seperti pada masa kerajaan-kerajaan Nusantara, antara lain berupa koleksi uang numismatik yang ditampilkan juga secara menarik.

Museum Bank Mandiri


Setelah puas mengelilingi Museum Bank Indonesia, penulis pun melanjutkan ke Museum Bank Mandiri yang berada disebelahnya. Museum yang menempati area seluas 10.039 meter persegi ini pada awalnya adalah gedung Nederlandsche Handel-Maatschappij (NHM) atau Factorji Batavia yang merupakan perusahaan dagang milik Belanda yang kemudian berkembang menjadi perusahaan di bidang perbankan. Bangunan yang didirikan sejak 1933 ini juga tampak kokoh dan megah dengan arsitektur Niew Zakelijk atau Art Deco Klasik.

Koleksi museum yang terdiri dari berbagai macam koleksi yang terkait dengan aktivitas perbankan "tempo doeloe" dan perkembangannya. Koleksi yang dimiliki mulai dari perlengkapan operasional bank, surat berharga, mata uang kuno (numismatik), brandkast, dan lain-lain ini sayangnya berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Keadaan yang sangat timpang sekali dibandingkan dengan museum Bank Indonesia yang berada di sebelahnya. Jika kita masuk ke dalam museum ini maka akan merasakan udara yang cukup panas dan lembab akibat tidak adanya AC dan kurangnya sirkulasi udara di dalam museum. Pihak pengelola juga tidak membuat alur eksibisi galeri museum dalam sebuah alur yang menarik bagi para pengunjung. Bahkan penulis kebingungan untuk mencari loket masuk bagi para pengunjung. Setiap eksibisi museum tampak tidak terawat dan tidak dicantumkan keterangan tentang benda tersebut, sehingga hampir terlihat seperti onggokan sampah di dalam gudang. Udara yang lembab dan kondisi yang tidak terawat ini menurut penulis sangatlah cocok untuk lokasi uji nyali. hehe :D Yang lebih memprihatinkan lagi adalah tempat yang cukup luas dan tidak adanya petugas yang berjaga, membuat tempat ini diisi oleh anak-anak muda yang sekedar duduk berkumpul dan merokok di beberapa sudut ruangan di lantai atas. Kondisi ini tentu sangat tidak menyenangkan bagi para pengunjung yang benar-benar berminat untuk melihat museum ini. Penulis pun tidak lebih dari setengah jam berada di museum yang terlihat seperti tempat yang tidak terurus.

Berhubung sudah merasa lapar dan waktu menunjukkan pukul 14.00, maka penulis segera berjalan ke arah museum Fatahillah. Di sekitar museum ini banyak sekali beragam makanan yang dapat pengunjung nikmati. Setelah memilih berbagai makanan yang ada, maka pilihan penulis jatuh pada gado2. Gado2 khas Jakarta ini pun dapat dinikmati dengan harga yang cukup terjangkau, cukup Rp 9.000 saja dan perut sudah kenyang. :D

Sebenarnya masih terdapat 3 museum lagi yang berada di Kawasan kota tua, yaitu Museum Fatahillah, Museum Wayang dan Museum Seni Rupa dan Keramik. Penulis tidak sempat kesana karena sudah cukup lelah dan juga hari sudah semakin sore. Keadaan lapangan di sekitar museum Fatahillah pun semakin ramai oleh pengunjung dan pedagang. Berbagai atraksi juga digelar di lapangan yang cukup luas ini. Hal pertama yang penulis lihat adalah ada atraksi kuda lumping yang dilakukan kelompok tersebut. Kelompok kuda lumping ini terdiri dari beberapa orang yang terdiri dari beragam usia, ada yang cukup tua dan muda, bahkan ada yang masih bocah dibawah 10 tahun. Penulis tidak sempat mengabadikan foto pertunjukan tersebut karena berada di posisi jauh di belakang. Selain itu juga karena penulis tidak tega melihat bocah tersebut dicambuki oleh pawangnya, walaupun beberapa penonton terhibur dengan atraksi bocah tersebut. 

Waktu sudah menunjukkan pukul 15.00 dan penulis ingin segera meninggalkan kota tua ini. Namun dari jauh terdengar alunan merdu lagu keroncong di sudut lapangan museum Fatahillah. Penulis dengan semangatnya langsungng menuju tempat tersebut bagai anak kecil yang akan mendapatkan hadiah. Disana terdapat beberapa pemusik yang usia sudah cukup tua sedang memainkan alat musik keroncong dengan merdunya ditemani dengan penyanyi wanita setengah baya yang menyanyikan lagu keroncong yang mengalun indah. Setelah lagu tersebut selesai, selanjutnya tampil penyanyi yang menurut penulis lebih terlihat sebagai seorang preman tersebut sedang menyanyikan lagu dengan cukup merdu.








Setelah memperhatikan lebih jauh, ternyata grup ini merupakan sebuah komunitas pecinta keroncong yang menamakan dirinya sebagai keroncong Kota Tua Jakarta. Mereka tampil setiap hari Minggu mulai pukul 12.00 hingga 18.00. Yang menarik dari kelompok keroncong yang mayoritas pemainnya sudah menjadi aki-aki ini adalah mereka melakukan pertunjukkan tersebut dengan sukarela dan tanpa dibayar. Yang terlihat hanyalah sebuah kotak dari kardus yang bertulisan "Kotak Apresiasi" yang terkadang dimasukkan uang oleh pengunjung. Kelompok keroncong kota tua ini juga mengajak para penonton untuk bernyanyi dengan grup musik ini. Ada banyak sekali penonton yang menyumbangkan lagunya dan bernyanyi dengan kelompok keroncong ini. Lagu keroncong pun mulai mengalun dengan merdu mulai dari lagu jembatan merah, Bandung Selatan, Bandar Jakarta, Jali-Jali (karena hanya lagu ini yang penulis tau. hehe d: ), dan lain-lain. Tak terasa sudah hampir dua setengah jam penulis dibius dengan lantunan lagu keroncong yang dibawakan. Hari sudah mulai sore menunjukkan pukul 17.30, dan penulis segera pulang menuju Depok untuk bersiap melakukan aktivitas rutin sebagai mahasiswa esok harinya.