Tuesday, November 6, 2012

Dinamika Amandemen UUD 1945 Pasca Reformasi



Cukup menarik jika kita membahas mengenai perdebatan amandemen UUD 1945 yang berlangsung selama empat kali sejak tahun 1999 – 2002. Perdebatan yang menarik dan cukup krusial dari perubahan UUD 1945 ini adalah mengenai dasar negara dan agama. Perdebatan ini sudah berlangsung sejak para pendiri bangsa ini mulai merumuskan Pancasila dan UUD 1945 yang berfungsi sebagai landasan negara Indonesia yang barus saja berdiri dalam masyarakat yang sangat plural dari segi suku maupun agama. 

Salah satu hal yang menarik adalah perdebatan antara Soekarno dan Natsir menyangkut hubungan Islam dan politik. Soekarno mendukung gagasan pemisahan antara agama dan politik. Menurut Soekarno, agama merupakan urusan spiritual dan pribadi, sedangkan masalah negara merupakan persoalan dunia dan kemasyarakatan. Natsir justru berpandangan sebaliknya, tidak ada pemisahan agama dengan negara. Menurut Natsir, ajaran Islam bukanlah semata-mata mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga antara manusia dengan sesamanya. Islam merupakan sebuah ideologi sehingga seorang Muslim tidak mungkin melepaskan keterlibatannya dalam politik tanpa memberi perhatian pada Islam.

Determinasi perbedaan pandangan ini dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan pendidikan dan pergaulan mereka. Sistem pendidikan yang diterapkan pemerintah kolonial Belanda di Indonesia menekankan kepada kemampuan anak didik untuk menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan duniawi. Sedangkan sistem pendidikan pesantren yang berlandaskan ajaran agama Islam menekankan pada kemampuan anak didik menguasai ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berguna bagi penghayatan agama.

Keberhasilan perjuangan kelompok Islam dalam mempengaruhi landasan negara ini terlihat pada hasil panitia sembilan yang dibentuk oleh BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 yang disebut sebagai Piagam Jakarta. Kalangan Islam berhasil memberi warna pada Mukadimah UUD 1945, yaitu pada alinea ke 4, khususnya pada sila pertama dari Pancasila: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Namun kesepakatan yang telah dikerjakan oleh Panitia Sembilan dipersoalkan kembali, khususnya oleh Hatta. Hatta berpendapat jika ‘tujuh kata’ tersebut dipertahankan, khawatir akan terjadi disintegerasi di Indonesia bagian timur.

Hal tersebut seolah terjadi kembali pada ST MPR untuk melakukan amandemen UUD 1945. Setelah turunnya rezim Soeharto pada Mei 1998, kebebasan politik di Indonesia mulai terbuka kembali. Upaya untuk mengamandemen konstitusi Negara Indonesia kembali terbuka sebagai prasyarat demokratisasi yang akan ditempuh negara ini. Hal tersebut terangkum dalam Sidang Tahunan MPR selama empat tahun. Berbagai polemik yang terjadi justru memberi warna tersendiri bagi proses demokrasi di Indonesia.

Salah satunya adalah penjabaran mengenai dasar negara Pancasila yang akan dijabarkan di batang tubuh UUD 1945. Walaupun semua fraksi di MPR setuju untuk tidak mengubah bagian pembukaan UUD 1945 karena itu merupakan landasan filosofi yang telah dibuat dengan susah payah oleh pendiri bangsa ini, namun ada perbedaan yang cukup tajam mengenai persoalan penjabaran Pancasila di batang tubuh UUD 1945. Pertama, fraksi-fraksi yang berpendapat dasar negara Pancasila perlu dicantumkan dalam batang tubuh UUD 1945, agar yang sudah termaktub di dalam bagian Pembukaan UUD 1945 dapat ditegaskan dalam pasal-pasalnya dan tidak akan tererosi oleh waktu serta dapat terus dipelajari oleh generasi mendatang. Kedua, pendapat bahwa dasar negara Pancasila tidak perlu dicantumkan dalam pasal-pasal sebab sebagai filosofi dasar kehidupan bernegara, Pancasila sudah cukup jelas dan paling aman ditempatkan pada bagian Pembukaan. Apabila dimasukkan ke dalam Batang Tubuh, akan rentan terhadap perubahan. Pada akhirnya setelah melalui perdebatan dan proses lobi yang panjang pada Sidang Tahunan 2002 MPR telah terjadi kesepakatan untuk tidak memasukkan Pancasila ke dalam batang tubuh UUD 1945.

Namun ada hal yang menarik dari polemik yang terjadi ini. Beberapa fraksi Islam seperti PBB dan PPP untuk memasukkan kembali sila pertama Pancasila dalam Piagam Jakarta, yaitu penambahan tujuh kata: dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Walaupun akhirnya usulan ini kalah dalam persidangan di MPR, namun setidaknya mereka puas karena dapat memperjuangkan aspirasi Islam itu secara konstitusional dan demokratis. Setidaknya tercapai empat hal dalam perjuangan tersebut. Pertama, upaya kelompok Islam mengingatkan kembali seluruh bangsa tentang kesepakatan luhur di masa lalu. Kedua, memperjuangkan aspirasi konstituennya yang berbasis Islam yang menginginkan ajaran-ajaran Islam dapat lebih diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat. Ketiga, memperkuat simbol-simbol Islam dalam rangka usaha memperkuat identitas politik sebagai partai Islam. Keempat, meraih dukungan lebih besar dari kalangan pemilih Islam.

Amandemen UUD 1945 dirasakan perlu untuk dilakukan mengingat pada rezim Soeharto telah terjadi pengerdilan lembaga-lembaga demokrasi seperti partai politik, pemilu, DPR, dan MPR. Akibat pengerdilan fungsi lembaga tersebut tidak bisa berjalan seperti yang seharusnya, yaitu memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakilinya. Menurut para akademisi, UUD 1945 sebelum amandemen memiliki beberapa kelemahan, seperti tidak seimbangnya distribusi kekuatan antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. UUD 1945 sebelum amandemen telah memberikan kekuasaan yang sangat besar pada Presiden, sehingga kekuasaan DPR melemah, minimnya perlindungan terhadap HAM dan mekanisme check and balances tidak memadai.  Jika kekuasaan eksekutif terlalu besar serta tidak disertai kontrol oleh legislatif, maka kekuasaan tersebut cenderung untuk korup dan berpotensi menjadi pemerintahan yang otoriter.

Dominasi eksekutif yang terlalu dominan tanpa disertai kontrol oleh lembaga legislatif dan kelompok kepentingan, biasanya fungsi artikulasi dan agregasi kepentingan tidak akan berjalan dengan baik. Dalam sistem politik seperti ini, hak-hak dasar warga negara kurang terjamin dan tidak terlindungi oleh negara. Kekuasaan yang otoriter maka semakin tinggi tendensinya untuk terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Maka dari itu seluruh fraksi di MPR saat itu memberikan perhatian yang lebih pada pembatasan kekuasaan Presiden, pemberdayaan DPR, pemberdayaan lembaga-lembaga negara seperti MA, BPK, DPA, BI, Pendidikan, hak asasi manusia, otonomi daerah, dan pengaturan mekanisme check and balances. Amandemen UUD 1945 ini nantinya diharapkan dapat dijadikan landasan konstitusional bagi keberlangsungan demokratisasi di Indonesia.