Saturday, July 19, 2014

Teori Beras dan Gandum: Perbedaan Budaya Masyarakat Barat yang Independen vs Timur yang Interdependen

Padi dan Gandum
Sumber: http://zaraimedia.com/

Mengapa masyarakat Barat cenderung lebih individualistis dibandingkan dengan masyarakat Timur yang cenderung lebih interdependen (saling ketergantungan)? Selama lebih dari 20 tahun para psikolog berusaha untuk menjelaskan perbedaan budaya Barat yang lebih induvidualistik dan cenderung menggunakan pemikiran analitis, sedangkan budaya Asia Timur yang lebih interdependen (saling ketergantungan) dan cenderung menggunakan pemikiran holistik. Pemikiran analitis ini maksudnya adalah berpikir menggunakan kategori abstraksi dan penalaran formal, seperti hukum logika non-kontradiksi – jika A adalah benar, maka “bukan A” adalah salah. Sedangkan Pemikiran holistik ini maksudnya adalah cenderung berpikir menggunakan intuitif dan terkadang bahkan menganut kontradiksi – baik A dan “bukan A” bisa menjadi benar. Terdapat beberapa teori yang berusaha menjelaskan perbedaan tersebut, diantaranya teori modernisasi dan teori prevalensi patogen.

Hipotesis modernisasi mengatakan bahwa semakin kaya, lebih terdidik, dan kapitalistik suatu masyarakat, maka mereka akan semakin induvidualistik dan berpikir analitis. World Values Survey’s dan studi terhadap penduduk pribumi Maya mengenai transisi menuju ekonomi pasar telah mendukung hipotesis modernisasi. Akan tetapi teori ini mengalami kesulitan dalam menjelaskan mengapa Jepang, Korea Selatan, dan Hongkong cenderung memiliki sikap kolektif meskipun PDB per kapita mereka lebih tinggi dibandingkan dengan Uni Eropa.

Teori prevalensi patogen juga menyatakan bahwa tingkat prevalensi penyakit menular yang tinggi di beberapa negara membuat masyarakat tersebut lebih berhati-hati untuk berurusan dengan orang asing, membuat kebudayaan tersebut more insular dan bersifat kolektif. Penelitian menemukan bahwa prevalensi patogen secara historis berkorelasi dengan kolektivisme dan tingkat keterbukaan yang lebih rendah. Namun, patogen memiliki korelasi yang kuat dengan panas. Karena beras tumbuh di daerah panas, patogen dapat bercampur dengan beras – kemungkinan yang tidak terkontrol oleh penelitian sebelumnya. Oleh karena itu teori prevalensi patogen kurang relevan untuk menjelaskan perbedaan budaya masyarakat Barat dan Timur.

Telheim, dan dkk. memberikan penjelasan teori yang menarik mengenai perbedaan ciri kebudayaan masyarakat Barat dan Timur melalui teori beras dan gandum. Teori beras dan gandum adalah perpanjangan dari bentuk teori subsisten, yang menyatakan bahwa beberapa bentuk subsisten (seperti pertanian) membutuhkan tingkat interdependen secara fungsional lebih tinggi dibandingkan bentuk lainnya (seperti penggembalaan). Misalnya padi yang memerlukan sejumlah besar air secara terus menerus. Seiring waktu, dimana masyarakat harus bekerja sama secara intensif menjadi lebih interdependen, sedangkan masyarakat yang tidak harus bergantung satu sama lain menjadi lebih individualistis.

Jika pada penelitian sebelumnya, menyatakan bahwa independen dan mobilitas dari teknik penggembalaan telah menciptakan budaya individualistik, sedangkan stabilitas dan penggunaan banyak pekerja dalam sistem pertanian telah menciptakan budaya kolektif. Talhelm dkk berpendapat bahwa teori subsisten masih kurang lengkap karena masih menyatukan semua bentuk pertanian. Mereka menyatakan bahwa pertanian beras dan gandum sangat berbeda, oleh karena itu akan menyebabkan perbedaan budaya juga.

Dua perbedaan besar antara pertanian beras dan gandum adalah irigasi dan pekerja. Beras padi membutuhkan genangan air, karena itu masyarakat di daerah penghasil padi harus membangun sistem irigasi yang terperinci yang membutuhkan kerja sama diantara para petani. Dalam jaringan irigasi, penggunaan air sawah keluarga yang satu akan mempengaruhi sawah keluarga lainnya, jadi petani beras harus melakukan kordinasi dalam penggunaan air. Selain itu, jaringan irigasi juga membutuhkan waktu berjam-jam tiap tahunnya untuk membangunnya, suatu tugas yang membutuhkan warga satu desa, bukan hanya seorang individu terpencil.

Padi juga membutuhkan banyak waktu dalam mengerjakannya. Antropologis pertanian yang mengobservasi daerah Cina premodern menemukan bahwa pekerjaan menanam padi membutuhkan setidaknya dua kali lipat jumlah jam dari menanam gandum. Bertani padi juga membutuhkan banyak pekerja dalam pelaksanaannya, dalam urusan ini para petani beras di desa-desa dari India sampai Malaysia dan Jepang membentuk semacam pertukaran pekerja diantara para petani. Para petani juga berkoordinasi mengenai waktu penanaman sehingga waktu panen tiap keluarga akan berbeda, memungkinkan mereka saling membantu pengerjaan sawahnya. Pertukaran pekerja ini adalah hal yang biasa dalam fase penanaman dan pemanenan. Secaea ekonomi, tindakan kerja sama diantara petani ini lebih menguntungkan dalam bertanam padi. Hal ini mendorong petani beras untuk bekerja sama secara intensif, membentuk hubungan yang erat berdasarkan timbal balik, dan menghindari tingkah laku yang menyebabkan konflik.

Sebaliknya, gandum lebih mudah untuk ditanam. Gandum tidak membutuhkan irigasi, sehingga petani gandum dapat bergantung pada curah hujan, dimana mereka tidak butuh berkoordinasi dengan tetangganya. Menanam dan memanen gandum juga membutuhkan pekerja, namun hanya dibutuhkan setengah jumlah pekerja dari beras. Beban yang lebih ringan tersebut artinya petani dapat mengerjakan sawahnya tanpa bergantung banyak kepada tetangganya.

Contoh mudah untuk membandingkan apakah beras dan gandum menyebabkan perbedaan budaya adlaah dengan memperlihatkan daerah beras (Asia Timur) yang interdependen dan daerah gandum (Barat) yang independen. Namun tidak seluruhnya perbedaan budaya Timur dan Barat dapat dijelaskan dengan teori beras dan gandum, banyak faktor lain yang berpengaruh seperti agama, politik, teknologi dan sebagainya.




Sumber: T. Talhelm, dkk, Large Scale Psychological Difference Within China Explained by Rice Versus Wheat Agriculture (Science Magazine Vol 344, 9 Mei 2014)

Friday, April 18, 2014

Teori Atom: Zat Penyusun Alam Semesta?

Struktur Atom
Apakah zat penyusun alam semesta ini? Karena kita hidup di masa ini, kita dapat dengan mudah menjawab pertanyaan itu, yaitu atom. Apakah atom itu? Sebagian orang pasti sudah tahu jawabannya. Ya, atom adalah satuan dasar materi, yang terdiri atas inti atom serta awan elektron bermuatan negatif yang mengelilinginya. Inti atom terdiri atas proton yang bermuatan positif, dan neutron yang bermuatan netral. Elektron-elektron pada sebuah atom terikat pada inti atom oleh gaya elektromagnetik. Bisa dikatakan bahwa atom ini adalah zat terkecil penyusun alam semesta.

Siapakah penemu teori atom? Di buku-buku pelajaran SMA kita dapat dengan mudah mengetahuinya, penemu teori atom adalah John Dalton pada tahun 1808. Dalton menyatakan bahwa atom adalah partikel kecil yang tidak dapat dibagi lagi. Teori atom selanjutnya berdialektika dan mengalami berbagai revisi, mulai dari Joseph John Thomson (1897), Ernest Rutherford (1913), Niels Bohr (1913), hingga yang paling kontemporer adalah atom mekanika kuantum yang dikembangkan oleh Erwin Schrodinger pada tahun 1927.

Tapi tahu kah bahwa teori mengenai atom telah dikemukakan jauh sebelum itu semua? Penemuan teori atom ini dimulai dari ketertarikan manusia terhadap alam ini, yaitu berawal dari pertanyaan apakah zat penyusun alam ini? Konsep atom, sebagai penyusun dasar sebuah materi, telah dikemukakan berabad-abad silam sebelum masehi. Dia adalah Democritus (460 SM – 370 SM) yang mengembangkan pemikiran tentang atom. Pemikirannya tentang atom berasal dari sebuah pertanyaan: Jika kamu memotong sebuah benda menjadi separuhnya, dan selanjutnya dipotong separuhnya lagi,berapa banyak potongan yang harus dibuat sebelum benda itu tidak bisa dibagi lagi? Democritus memikirkan bahwa hal tersebut akan berakhir pada suatu titik tertentu, potongan terkecil dari suatu materi. Dia menyebut ini adalah partikel dasar materi, yakni atom.

Pemikiran dari Democritus sangat lah brilian, banyak para filsuf sebelumnya yang tertarik untuk mengetahui materi dasar dari alam semesta ini. Salah seorang yang memulainya adalah Thales, yang berasal dari Miletus, beranggapan bahwa sumber dari segala sesuatu adalah air. Dia percaya bahwa seluruh kehidupan berasal dari air – dan seluruh kehidupan kembali ke air ketika sudah berakhir. Kemungkinan di Mesir ia mengamati bagaimana tanaman mulai tumbuh begitu banjir Sungai Nil surut dari wilayah daratan di Delta Nil. Barangkali ia juga mengamati bahwa katak dan cacing muncul di tempat-tempat yang baru dibasahi hujan. Besar kemungkinan juga ia memikirkan cara air berubah menjadi es atau uap – yang kemudian berubah kembali menjadi air.

Filsuf selanjutnya yang memikirkan materi dasar penyusun alam semesta adalah Anaximenes (570 SM – 526 SM). Dia beranggapan bahwa sumber segala sesuatu pastilah “udara” atau “uap”. Anaximenes beranggapan bahwa air adalah udara yang dipadatkan. Kita mengetahui bahwa ketika hujan turun, air diperas dari udara. Dia berpikiran bahwa jika air diperas lebih keras lagi, ia akan menjadi tanah. Kemungkinan, dia pernah melihat bagaimana tanah dan pasir terperas keluar dari es yang meleleh. Dia juga beranggapan bahwa api adalah udara yang dijernihkan. Oleh karena itu Anaximenes menyatakan bahwa udara adalah asal usul tanah, air dan api – yang semuanya dibutuhkan untuk menciptakan kehidupan.

Selanjutnya muncul pertanyaan, apakah penyusun alam semesta ini hanyat terdiri dari satu unsur saja? Bagaimana air atau udara dapat berubah menjadi seekor ikan atau kupu-kupu? Dia adalah Empedocles (490 SM – 430 SM) yang menyatakan bahwa gagasan mengenai satu zat dasar itu lah yang harus ditolak. Baik  air maupun udara semata-mata tidak dapat berubah menjadi katak atau kupu-kupu. Sumber alam tidak mungkin hanya terdiri dari satu “unsur” saja. Empedocles yakin bahwa alam itu terdiri dari empat unsur, yakni tanah, udara, api dan air.

Semua proses yang terjadi di alam ini disebabkan oleh menyatu atau terpisahnya keempat unsur ini. Sebab, semua benda merupakan campuran dari tanah, udara, api, dan air, tetapi dalam proporsi yang beragam. Kemungkinan Empedocles pernah menyaksikan  sebatang kayu yang terbakar. Sesuatu yang terurai. Kita dapat mendengar sesuatu yang merekah dan memercik, itulah “air”. Sesuatu naik menjadi asap, itulah “udara”. “Api” –nya dapat kita lihat. Sesuatu yang lain tetap tinggal ketika api padam, itulah abu atau “tanah”. Perubahan itu dapat kita lihat lewat mata telanjang. Namun tanah dan udara, api dan air tetap abadi, “tak tersentuh” oleh semua campuran yang di dalamnya, mereka menjadi bagiannya. Kita dapat menganalogikan pemikiran Empedocles dengan sebuah lukisan. Jika seorang pelukis hanya mempunyai satu warna – merah misalnya – dia tidak dapat melukis pepohonan yang hijau. Namun jika ia mempunyai warna kuning, merah, biru dan hitam, dia dapat melukis ratusan warna yang berbeda, sebab dia dapat mencampurkan warna-warna itu dalam takaran yang berlainan.

Selanjutnya adalah Anaxagoras (500 SM – 428 SM) yang menyangkal pandangan filsuf-filsuf sebelumnya. Dia tidak setuju bahwa satu bahan dasar tertentu – misal air atau udara – dapat diubah menjadi segala sesuatu yang kita lihat di alam ini. Dia juga tidak dapat menerima bahwa tanah, udara, api, dan air dapat diubah menjadi darah dan tulang. Anaxagoras berpendapat bahwa alam diciptakan dari partikel-partikel sangat kecil yang tak dapat dilihat mata dan jumlahnya tak terhingga. Lebih jauh, segala sesuatu dapat dibagi menjadi bagian-bagian yang jauh lebih kecil lagi, tetapi bahkan dalam bagian yang paling kecil masih ada pecahan-pecahan dari semua yang lain. Jika kulit dan tulang bukan merupakan perubahan dari sesuatu yang lain, pasti ada kulit dan tulang, menurutnya, dalam susu yang kita minum dan makanan yang kita santap.

Pendapat Anaxagoras ini mendapatkan kritikan dari  Democritus (460 SM – 370 SM). Zat pembentuk segala sesuatu tidak mungkin dibagi secara tak terhingga menjadi bagian-bagian yang lebih kecil lagi. Jika begitu, mereka tidak dapat digunakan sebagai balok-balok pembentuk. Jika atom selamanya dapat dipecah menjadi bagian-bagian yang lebih kecil, alam akan hancur bagaikan sup yang kebanyakan air. Sesuai namanya, “atom” berati tidak dapat dipotong lagi. Democritus percaya bahwa alam terdiri dari atom-atom yang jumlahnya tak terhingga dan beragam. Sebagian bulat dan mulus, yang lain tak beraturan dan bergerigi. Dan justru saling berbeda, mereka dapat menyatu menjadi berbagai bentuk yang berlainan. Namun, meskipun jumlah dan bentuk mereka mungkin tak terbatas, mereka semua kekal, abadi dan tak terbagi.

Jika sebuah benda – misalkan pohon atau hewan – mati dan hancur, atom-atomnya terurai dan dapat digunakan lagi untuk membentuk benda-benda yang lain. Atom bergerak acak di angkasa. Tapi, karena mempunyai “kait” dan “mata kait”, mereka dapat menyatu untuk membentuk segala macam benda yang kita lihat di sekeliling kita. Akhirnya setelah lebih dari dua milenium, teori atom yang dikemukakan oleh Democritus dapat dibuktikan oleh John Dalton, dan ilmu ini terus berdialektika dan direvisi hingga saat ini.