Sunday, April 29, 2012

Politik Kartel di Indonesia




Runtuhnya Orde Baru pada Mei 1998 telah membawa warna baru bagi perpolitikan di Indonesia. Indonesia melakukan konsolidasi demokratisasi yang ditandai dengan Pemilu DPR dan DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota yang serentak dilaksanakan pada 7 Juni 1999. Ini merupakan pemilu yang demokratis yang dirasakan Indonesia terakhir kali sejak tahun 1955. Berbagai macam partai politik mulai bermunculan dengan membawa berbagai macam ideologi sebagai platform-nya, ada membawa ideologi agama dan adapula yang sekuler. Penegasan ideologi dilakukan oleh partai politik guna mendulang suara dari para pemilih. Namun terdapat hal yang menarik ketika memasuki proses pembentukan pemerintahan, persaingan ideologi partai yang dikumandangkan saat pemilu seakan berhenti. Berbagai perbedaan ideologi dan tujuan dari partai politik kini bukanlah hal yang penting lagi. Kabinet yang dibentuk pun melibatkan semua partai di DPR yang mencakup partai Islam maupun moderat.

Pola yang sama terjadi lagi saat Pemilu 2004, perbedaan ideologi hanya menjadi alat jual guna mendulang suara tetapi tidak berlaku ketika masuk ke dalam pemerintahan. Dodi Ambardi berpendapat bahwa sejak era reformasi partai-partai di Indonesia telah membentuk sistem kepartaian yang mirip kartel. Ia juga menunjukkan bukti-bukti yang menguatkan ciri kartel dalam sistem kepartaian di Indonesia, yakni (1) hilangnya peran ideologi partai sebagai sebagai faktor penentu perilaku koalisi partai; (2) sikap permisif dalam pembentukan koalisi; (3) tiadanya oposisi; (4) hasil-hasil Pemilu hampir-hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik; dan (5) kuatnya kecenderungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai satu kelompok. Kelima ini, khususnya yang kelima, berlawanan dengan sifat umum sistem kepartaian yang kompetitif.

Namun kartel dalam politik berbeda dengan kartel dalam ekonomi. Dan Slater menjelaskan, Dalam ilmu ekonomi, kartel berbeda dari pasar bahwa mereka akan menghancurkan pesaing dan mencekik pendatang baru yang potensial di pasar. Dalam politik, kartel berbeda dengan koalisi bahwa mereka mengkooptasi semua partai politik besar ke dalam sebuah aliansi nasional yang luas, dan meminggirkan partai-partai kecil yang berada diluar dalam prosesnya. Walaupun ini merupakan bentuk ideal untuk mencapai stabilitas, namun hal tersebut akan menjadi sebuah masalah dalam representatif.

Dodi Ambardi menjelaskan bahwa kartel ini dilakukan oleh partai politik demi menjaga keberlangsungan hidup mereka sebagai kepentingannya. Kelangsungan hidup partai-partai politik ini ditentukan oleh kepentingan bersama untuk menjaga berbagai sumber keuangan yang ada, terutama yang berasal dari pemerintah. Sumber keuangan partai yang dimaksud oleh Ambardi ini bukanlah uang pemerintah yang resmi dialokasikan untuk partai politik, melainkan uang pemerintah yang didapatkan oleh partai melalui perburuan rente. Tindakan ini hanya dapat dimungkinkan bila partai politik memiliki akses dalam jabatan pemerintahan dan parlemen. Kartz dan Mair berpendapat bahwa munculnya fenomena kartel politik akibat kebutuhan keuangan finansial partai politik yang semakin bergantung pada negara. Hal ini disebabkan oleh buruknya kemampuan mobilisasi keuangan partai politik melalui iuran anggotanya yang akibatnya adalah menjauhnya partai politik dari masyarakat dan mendekatkan partai pada negara.

Penelitian dari Katz dan Mair tentang partai kartel di Eropa juga dapat menjadi sebuah contoh yang relevan bagi perkembangan perpolitikan di Indonesia.  Mereka dapat menjelaskan dengan baik alasan mengapa partai politik menggunakan cara kartel. Sudah jelas dalam sistem demokrasi bahwa ada sebagian partai yang akan masuk dalam pemerintahan, sedangkan yang lainnya akan terlempar ke luar. Ada partai yang takut akan terlempar dari jabatannya akibat berubahnya suara pemilih. Namun dalam model politik kartel, tidak akan ada partai besar yang terlempar dari kekuasaan. Hal ini mengakibatkan semakin tidak jelas antara partai politik di pemerintahan dan partai politik yang menjadi oposan.

Jabatan Kabinet yang seharusnya menjadi pembantu presiden dalam menjalankan fungsi dalam memeberikan saran, membuat kebijakan dan mengeksekusi perintah dari Presiden, dapat dimanfaatkan oleh partai politik sebagai sumber finansial bagi partai politik. Tawar menawar antara partai politik dan Presiden terjadi untuk menempatkan calon dari partai politik di jabatan Menteri. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pertimbangan determinan pencalonan seorang Menteri dari partai politik berdasarkan seberapa “basah” dalam posisi kementerian tersebut. Sektor-sektor Kementerian yang “basah” seperti Kementerian Keuangan, Energi, Industri, Transportasi, dan BUMN  menjadi tempat potensial bagi partai politik untuk menempatkan calonnya. Bahkan Kementerian yang terlihat “kering” seperti Kementerian Agama, dapat dijadikan sumber pendapatan bagi partai politik, tentunya dengan sedikit permainan muslihat. Dalam kasus Kementerian Agama, sumber pendapatan bisa berasal dari mandat penyimpanan dana haji.

Selain keuntungan bagi partai, posisi jabatan Menteri juga dirasakan oleh personal Menteri tersebut. Seorang Menteri juga akan menerima fasilitas yang mewah guna menjalankan fungsinya sebagai pembantu Presiden. Fasilitas-fasilitas sebagai seorang Menteri seperti mendapatkan mobil dinas yang mewah, kantor yang besar, gaji yang tinggi, dan kesempatan untuk mengangkat staf pribadi lebih banyak. Selain hal materi, seorang Menteri yang duduk dalam kabinet akan mendapatkan prestise yang tinggi dan otoritas membuat kebijakan.

Untuk merubah kartel politik yang telah terjadi di negara ini sangatlah sulit. Demokrasi yang berdasarkan atas persaingan yang kompetitif untuk terciptanya pemerintahan yang optimal dengan sistem check and balances, justru terjadi kartel yang dilakukan oleh partai politik untuk melanggengkan kekuasaan mereka di pemerintahan. Untuk merubah semua ini dibutuhkan tindakan kolektif yang melibatkan banyak partai, seperti terciptanya politik kartel yang membutuhkan tindakan kolektif juga.




Sumber:
- Dodi Ambardi, Mengungkap Politik Kartel (Jakarta: KPG, 2009)
- Dan Slater, “Indonesia’s Accountability Trap: Party Cartels and Presidential Power after Democratic Transition.” Indonesia 78 (October 2004)

Saturday, April 28, 2012

Demokrasi Mayoritarian atau Pluralis?: Seberapa Demokratiskah Amerika Serikat



Saat ini demokrasi telah mulai banyak dianut oleh banyak negara di berbagai belahan dunia. Seperti yang telah dijelaskan oleh Huntington bahwa demokrasi dalam dunia modern dimulai dari Revolusi Prancis dan Revolusi Amerika Serikat yang selanjutnya mulai menyebar ke berbagai negara di dunia dalam tiga gelombang besar, walaupun Huntington juga mencatat bahwa terdapat arus balik demokratisasi yang terjadi khususnya di Amerika Selatan. Kasus paling kontemporer adalah gelombang demokratisasi yang telah melanda Timur Tengah yang dimulai dari Tunisia dan mulai terjadi efek domino terhadap negara-negara tetangganya.
Setiap terbentuknya sebuah sistem pastilah ada role mode-nya, hal ini digunakan untuk mengukur seberapa bagus sistem tersebut ketika sedang berjalan. Begitu juga jika kita berbicara mengenai role mode dari demokrasi, jawaban yang terlintas hampir dapat dipastikan adalah Amerika Serikat. Namun seberapa demokratis-kah Amerika Serikat? Pertanyaan ini akan menjadi menarik ketika kita mengaitkan Amerika Serikat sebagai negara demokrasi dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya. Secara makna, kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani, demos yang berarti orang banyak atau rakyat dan  kratos yang berarti kekuasaan. Dapat kita katakan bahwa demokrasi adalah kekuasaan yang dipimpin oleh orang banyak atau rakyat. Kita tidak akan banyak membahas mengenai prototipe demokrasi Yunani yang memiliki banyak kecacatan, seperti tidak diikutsertakannya wanita dan budak.

Pemikiran tentang Demokrasi
Setidaknya saat ini terdapat dua mayoritas utama pemikiran mengenai demokrasi, yaitu demokrasi prosedural dan demokrasi substansi. Demokrasi prosedural melihat bahwa demokrasi adalah sebuah bentuk pemerintahan yang menekankan pada prosedur mengenai bagaimana orang-orang mendapat akses ke pemerintah. Pembahasan utamanya mengenai pertemuan dalam membahas suatu isu, pemungutan suara pada pemilihan umum, dan pencalonan diri sebagai pejabat publik. Dalam demokrasi prosedural  terdapat empat prisip utama, yaitu Universal Participation, suatu konsep bahwa setiap orang yang terlibat dalam demokrasi harus dapat berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan pemerintahan; Political Equality, yaitu terdapat kesetaraan dalam pemberian suara, satu orang satu suara, dengan keseluruhan suara yang dihitung dengan setara; Majority Rule, sebuah prinsip bahwa suatu kebijakan kelompok harus mencerminkan preferensi lebih dari setengah dari yang berpartisipasi; dan Ketanggapan pemerintah dalam memanajemen opini publik dan memformulasikan dalam membentuk suatu kebijakan. Namun pandangan prosedural ini memiliki beberapa kelemahan seperti akan terjadi bentrokan dengan hak minoritas, karena suara mereka akan kalah oleh mayoritas.
Sedangkan teoritisi demokrasi substansi berpandangan bahwa pemerintah seharusnya berfokus pada kebijakannya, bukan pada prosedur yang menyertai dalam proses pembuatan kebijakan tersebut. Para teoritisi sepakat bahwa kebijakan pemerintah harus bisa menjamin kebebasan sipil (seperti kebebasan beragama dan kebebasan berekspresi) dan hak sipil (pemerintah tidak dapat mengarbitrasi individu, seperti perlindungan terhadap diskriminasi dalam pekerjaan dan perumahan). Namun kesamaan pendapat ini akan berubah menjadi perbedaan yang tajam ketika pembahasan ini bergeser ke hak sosial (perawatan kesehatan yang memadai, kualitas pendidikan, perumahan yang layak) dan hak ekonomi (kepemilikan pribadi, pekerjaan tetap). Salah satu pihak menyatakan bahwa hak sosial dan hak ekonomi juga harus dapat dijamin oleh negara, sebagai salah satu pemenuhan syarat sebagai negara demokrasi. Namun pihak yang lain menyatakan bahwa manusia memang ditakdirkan berbeda dalam sosial dan ekonomi, dalam negara demokrasi tidak perlu tercapai kesetaraan dalam hak sosial dan hak ekonomi. Negara tidak perlu membuang anggarannya secara percuma untuk mensubsidi orang-orang yang kurang beruntung ini.
Jika kita kaji lebih jauh lagi, pemikiran tentang demokrasi di Amerika Serikat sudah masuk dalam demokrasi substansi. Ini dapat terlihat bahwa Amerika Serikat tidak hanya berkutat dalam masalah bagaimana prosedur untuk menjadi negara yang demokratis, tapi sudah masuk kedalam bentuk demokrasi substansi. Seperti kita ketahui, bahwa terdapat dua kubu partai politik yang saling berseteru di Amerika Serikat, yaitu Partai Demokrat yang liberal dan Partai Republik yang konservatif. Dalam ranah keadilan sosial, Partai Demokrat berpandangan bahwa harus terdapat kesetaraan sosial dalam masyarakat dengan cara meningkatkan pajak orang kaya dan perusahaan besar. Pajak tersebut yang nantinya dapat digunakan untuk membiayai program sosial yang didesain untuk membantu orang miskin dan kelas menengah. Justru terdapat pandangan sebaliknya dalam Partai Republik yang konservatif, mereka percaya bahwa keadilan yang lebih baik berasal dari masyarakat yang tidak diregulasi dan bebas berkompetisi. Partai Republik menentang redistribusi kekayaan atau usaha lainnya untuk menyetarakan hasil dianatara individu, mereka lebih menekankan pada kesempatan yang sama untuk menjadi sukses. Dari penjabaran diatas dapat terlihat bahwa Amerika Serikat termasuk dalam demokrasi substansi yang berfokus pada hasil kebijakan negara.

Model Institusional Negara Demokrasi

Negara demokrasi membutuhkan model institusi untuk mewujudkan pemerintahan yang representatif dalam pemilihan pejabat untuk membuat kebijakan. Negara demokratis harus dapat mengakomodasi berbagai kepentingan, sehingga dibutuhkan mekanisme institusional yang dapat mengubah opini publik menjadi sebuah kebijakan negara. Beberapa teoritisi demokrasi mendukung sebuah institusi yang memiliki ikatan yang erat antara kebijakan pemerintah dengan keinginan mayoritas penduduk. Sedangkan teoritisi lainnya beranggapan bahwa masalah mayoritas dan ketanggapan sebagai sesuatu yang kurang penting. Teoritisi ini tidak berprinsip pada opini masyarakat, tetapi mereka mendukung sebuah institusi yang mengizinkan sekelompok masyarakat untuk mempertahankan kepentingannya dalam proses pembuatan kebijakan publik. Dengan kata lain, nilai model mayoritarian terletak pada partisipasi rakyat secara umum, dan nilai model pluralis pada partisipasi orang dalam suatu kelompok kepentingan.
Amerika Serikat walaupun memiliki sistem pemerintahan majority rule, namun tidak menafikan adanya hak minoritas dalam menyalurkan kepentingannya dalam proses kebijakan publik. Misalnya adalah hak untuk memilih bagi perempuan dalam pemilihan umum pada 1964, serta African-American Civil Rights Movement pada tahun 1955–1968. Jadi dalam model institusi Amerika Serikat lebih condong kepada model Pluralis, dilihat dari sejarahnya banyak sekali perjuangan kepentingan yang berbasiskan kelompok.
Namun menurut Kenneth Janda model institusional plural yang berbasiskan kelompok dapat menimbulkan eksternalitas munculnya kelompok elit. Kelompok minoritas dapat berkuasa terhadap mayoritas dengan beberapa kelebihannya seperti kekayaan dan koneksi untuk melobi pemerintah. Kelompok minoritas Wall Street dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam bidang ekonomi. Kelompok Wall Street yang minoritas jika dibandingkan dengan total rakyat Amerika Serikat ini dapat mempengaruhi kebijakan Amerika Serikat, bahkan dunia dalam hal deregulasi finansial. Deregulasi finansial ini sangat menguntungkan kelompok Wall Street hingga terbentuknya bubble economy yang akhirnya pecah dan menimbulkan krisis yang parah pada tahun 2008 silam.
Namun apapun pilihan model demokrasi yang dipilih, tetap tidak ada yang terbaik diantara pilihan tersebut. Penulis disini beranggapan bahwa demokrasi hanyalah sebuah alat untuk mencapai fruit of Democracy, yakni kesejahteraan manusia.


Sumber:
- Kenneth Janda et., al., The Challange of Democracy: Government in America (Boston: Houghton Mifflin, 2002)

Debate: Democrats vs. Republicans, diakses dari http://debatepedia.idebate.org/en/index.php/Debate:_Democrats_vs._Republicans

Sonia Pressman Fuentes, The Women's Rights Movement: Where It's Been, Where It's At, diakses dari http://userpages.umbc.edu/~korenman/wmst/womens_rights.html 

Voting Rights and African Americans, diakses dari http://academic.udayton.edu/race/04needs/98newburg.htm 

Wednesday, April 25, 2012

Politik Lingkungan dalam Dimensi Internasional



Sejak awal tahun 1970an telah banyak muncul isu mengenai masalah lingkungan. Masalah-masalah tersebut tidak bisa semata-mata dikerjakan pada tingkat nasional saja. Karena negara tidak bisa bertindak sendirian untuk menyelesaikan banyak permasalahan lingkungan yang sedang dihadapi. Secara normatif, negara-negara yang ada seharusnya dapat menciptakan sebuah rezim internasional yang berusaha untuk menyelesaikan permasalahan mulai dari penipisan ozon dan pemanasan global sampe hilangnya keanekaragaman hayati dan masalah limbah beracun.
Secara garis besar, perpolitikan internasional dapat dibedakan dengan konflik lingkungan yang terjadi antara Negara-negara Utara dan Negara-negara Selatan. Konflik-konflik yang terjadi pada umumnya berkisar masalah ekonomi global, populasi dan konsumsi sumber daya alam serta kedaulatan secara signifikan. Negara-negara Utara yang mendapatkan keuntungan dari persiapan ekonomi yang telah mapan, cenderung untuk mengartikan bahwa masalah lingkungan itu berbeda dari hubungan perekonomian yang ada. Permasalahan lingkungan dipandang sebagai masalah teknis yang dapat diatasi tanpa perlu mengubah struktur dari sistem perekonomian global, tanpa perlu mengargumenkan prinsip pasar bebas dan logika akumulasi modal. Dalam pandangan penganalisa lingkungan, Negara-negara Utara dan Selatan harus merestukturisasi perekonomian secara radikal. Negara-negara Utara harus mengurangi tingkat konsumsinya dan Negara-negara Selatan diharuskan untuk melakukan pembangunan yang berkelanjutan dan menyediakan kebutuhan bagi populasinya.
Namun menurut studi yang dilakukan dan digunakan oleh Negara-negara Selatan bahwa konsumsi yang dilakukan Negara-Negara Utara lebih berpengaruh untuk menciptakan kerusakan lingkungan sekarang ini. Sebagai contoh adalah soal penggunaan bahan bakar fosil, terdapat perbedaan yang sangat curam dalam penggunaan emisi karbon fosil perkapita. Amerika Serikat mengeluarkan sekitar 5.7 ton karbon per orang setiap tahun, sedangkan India mengeluarkan hanya sekitar 0.4 ton. Dengan kata lain, Richard Falk menyatakan fakta bahwa 85 persen pendapatan dunia hanya dinikmati oleh 23 persen penduduk dunia yang hidup di Utara, sedangkan 77 persen sisa populasi di Selatan hanya memperebutkan 23 persen kekayaan yang tersisa.
Konflik selanjutnya yang sering terjadi adalah permasalahan kedaulatan. Negara-negara Selatan melihat bahwa Negara-negara Utara berusaha menekan mereka untuk melakukan pembangunan berkelanjutan dan memasukan permasalahan lingkungan sebagai agenda pembangunannya. Hal ini tentu akan memberatkan Negara-negara Selatan, sebab mereka ditekan untuk menyejahterakan masyarakatnya namun di sisi lain mereka ditekan untuk memperhatikan lingkungannya. Ironi dengan Negara-negara Utara sebagai penyebab determinan dari kerusakan lingkungan yang hanya dituntut untuk mengurangi konsumsinya saja.

Prinsip kedua dari Rio Declaration, menyatakan bahwa Negara dalam hukum internasional adalah pemiliki kedaualatan untuk mengeksploitasi sumber daya alamnya yang mengikuti kebijakan lingkungan dan pembangunan mereka. Permasalahan inilah yang dipandang oleh kelompok peduli lingkungan bahwa dibutuhkannya sebuah otoritas kedaulatan diatas Negara untuk bisa mengatur permasalahan lingkungan. Hal ini dibutuhkan untuk melindungi negara-negara tersebut dari degradasi lingkungan yang akan mengurangi kualitas hidup manusia. Permasalahan lingkungan tentu akan bertentangan dengan pembangunan ekonomi di negara-negara seperti Indonesia, Brazil, dan China yang sedang memacu pertumbuhan perekonomiannya. Maka sangatlah dibutuhkan transfer teknologi dan bantuan finansial agar negara-negara ini bisa melindungi lingkungannya.
Selain dominasi antara Negara-negara Utara terhadap Negara-negara Selatan, kini munculah Transnational Corporation (TNCs). Menurut analis peduli lingkungan aktor baru yang muncul ini akan menjadi hambatan dalam menghadapi pembangunan yang efektif dari rezim berbasiskan lingkungan. Hal ini bermula dari Konferensi Bretton Woods pada tahun 1944, setelah berakhirnya Perang Dunia II Amerika Serikat melihat bahwa tata tertib perekonomian dunia kedepannya akan berbasiskan pada prinsip pasar bebas. Berdasarkan Konferensi Bretton Woods maka dibentuklah institusi seperti World Trade Organisation (WTO), International Monetary Fund (IMF) dan World Bank. Lembaga-lembaga ini berfungsi untuk memberikan modal pinjaman bagi berbagai negara yang membutuhkan dengan syarat harus menderegulasikan sistem keuangan mereka, dengan kata lain harus menerima prinsip pasar bebas. Hal tersebut semakin terlihat perbedaannya pada akhir tahun 1990an, terbentuknya iklim perekonomian global dan masuknya TNC dan pasar keuangan global.
Mereka memakai prinsip trickle down effect bahwa kemajuan perekonomian Negara-negara Utara akan terasa di Negara-negara Selatan semakin dipertanyakan. Kenyataannya adalah muncul krisis hutang pada tahun 1980an, kebijakan kondisi pembayaran dan penyesuaian struktural, jarak antara negara kaya dan negara miskin semakin jauh. Sumber daya alam di Negara-negara Selatan secara konsisten telah dieksploitasi untuk membantu menyeimbangkan defisit pembayaran.
WTO sebagai institusi keuangan global berhasil memproteksi perekonomian Negara-negara Utara dan disaat yang sama menghilangkan hambatan perdagangan di Negara-negara Selatan. Contohnya dengan melakukan kebijakan trade-related investment measures (TRIMS) dan trade-related property right (TRIPS). TRIMS telah membuka sektor finansial dan asuransi dunia, sektor perekonomian yang sensitif dimana perusahaan Negara-negara Utara dalam posisi mendominasi. Sedangkan TRIPS memperbolehkan perusahaan untuk mengambil paten dari berbagai material biologis. Peter Wilkin berpendapat bahwa TRIPS memungkinkan TNCs Negara-negara Utara untuk mengambil paten dari berbagai materi genetik, agrikultural, dan obat-obatan parmasi yang aslinya secara praktik historis adalah kepunyaan dari petani Negara-negara Selatan, kominitas dan yang lainnya. Dengan memiliki hak paten yang terjamin, TNC yang berbasiskan Negara-negara Utara akan bebas untuk menjual komoditas tersebut kembali lagi ke Negara-negara Selatan dengan harga yang menguntungkan. Dengan kata lain Negara-negara Utara berusaha melakukan tindakan untuk merubah sistem dengan mendapatkan keuntungan (dalam ekonomi) untuk mereka.

Monday, April 16, 2012

Globalisasi adalah Keniscayaan ataukah Mitos: Sebuah Perdebatan Akademis



Berbicara tentang globalisasi, tentu hampir bisa dipastikan apa yang dipikirkan setiap orang akan berbeda-beda. Sampai saat ini belum ada definisi globalisasi yang secara umum dapat diterima secara luas, kecuali hanya gambaran umum saja mengenai globalisasi, seperti “peningkatan keterkaitan global”, “intensifikasi yang cepat dalam relasi sosial budaya”, “pemampatan ruang dan waktu”, “serangkaian proses yang kompleks, yang didorong oleh pengaruh ekonomi dan politik”, dan “perpindahan dan arus yang relatif tak terbendung dalam hal modal, orang, dan gagasan yang melintasi batas-batas negara”.

Banyak perdebatan yang terjadi diantara akademisi mengenai definisi tentang globalisasi, diantaranya ada yang bersikap skeptis tentang definisi globalisasi dan yang lainnya berusaha memaknai globalisasi dari paradigma tertentu. Terdapat tiga kelompok ilmuwan yang bersikap skeptis mengenai definisi globalisasi. Kelompok Pertama beranggapan bahwa penggunaan istilah globalisasi yang kabur dalam wacana akademik. Mereka beranggapan bahwa istilah globalisasi digunakan oleh ideolog dengan nilai dan makna yang meneguhkan agenda politik mereka sendiri. Kelompok Kedua beranggapan bahwa proses globalisasi terjadi hanya terbatas pada wilayah tertentu saja. Mereka beranggapan bahwa pada dasarnya globalisasi adalah fenomena ekonomi dan segala penigkatan aktivitas ekonomi transnasional ini tampaknya hanya terbatas pada negara-negara industri maju. Kelompok Ketiga berpendapat bahwa proses globalisasi bukanlah sesuatu yang baru. Menurut mereka proses globalisasi telah berlangsung sejak lima abad silam dalam bentuk kolonialisme dan imperialisme.

Selain itu sebagian ilmuwan globalisasi merupakan sebuah fenomena yang terjadi dilihat dari sudut proses ekonomil, politik, dan kultural. Globalisasi sebagai proses ekonomi berpandangan bahwa esensi dari globalisasi adalah meningkatnya keterkaitan ekonomi nasional melalui perdagangan, aliran keuangan, dan investasi langsung melalui perusahaan-perusahaan multinasional. Selain itu, terjadi perubahan aliran teknologi, perdagangan, dan investasi yang melintasi batas negara menjadi semakin deras. Mereka menggunakan pendekatan institusionalisme yang mengacu pada pendirian organisasi-organisasi ekonomi internasional seperti, International Monetary Fund (IMF), World Bank, World Trade Organization (WTO), dan Trans-national corporations.

Terdapat empat pandangan yang berbeda melihat globalisasi dalam paradigma politik. Kelompok Pertama berpandangan bahwa politik dibuat nyaris tidak berdaya menghadapi kedigdayaan tekno-ekonomi yang dapat menghancurkan fungsi pemerintah dalam hal kebijakan dan regulasi. Kombinasi antara kepentingan ekonomi dan inovasi teknologi yang membuat peran pemerintah tereduksi menjadi kaki-tangan pasar bebas. Kelompok Kedua menolak determinasi ekonomi terhadap politik. Menurutnya, yang ada hanyalah keputusan politik yang dibuat pemerintah untuk mengurangi restriksi internasional pada modal, karena pandangan ini bersandar filosofis dari agen manusia yang aktif. Kelompok Ketiga, mereka beranggapan bahwa globalisasi didorong dari kombinasi percampuran dari faktor teknologi dan politik. Dalam hal ini bisa teknologi yang akan mempengaruhi politik, atau sebaliknya politik yang akan mempengaruhi teknologi. Kelompok Keempat, melihat globalisasi politik terutama sebagai perspektif tatanan global (global governance). Hal ini terkait bagaimana respon berbagai negara dan lembaga multilateral terhadap aliran transnasional sistem politik dan ekonomi yang melintasi batas wilayah negara. Globalisasi akan menyingkirkan kedaulatan pemerintahan nasional, sehingga mengurangi relevansi negara-bangsa.

 Globalisasi sebagai proses kultural, para pendukungnya beranggapan bahwa terdapat hubungan antara proses globalisasi dengan perubahan kultural kontemporer. Arus kultural global dikendalikan oleh perusahaan media internasional yang memanfaatkan berbagai teknologi informasi mutakhir untuk membentuk masyarakat dan identitas. Ketika citra dan gagasan tersebut dialirkan dengan cepat dan mudah antara satu tempat dan tempat lainnya, maka proses tersebut akan berdampak besar pada cara orang dalam menjalani kehidupan sehari-harinya. Setidaknya terdapat lima dimensi konseptual atau “landscape” yang dibentuk oleh arus kultural global: etnoscapes (perpindahan populasi yang melahirkan turis, imigran, pengungsi, dan pelarian); technoscapes (perkembangan teknologi yang mendorong bangkitnya Trans-national corporations); finanscapes (aliran kapital global); mediascapes (kemampuan elektronik untuk memproduksi dan menyebarkan informasi); dan ideoscapes (ideologi-ideologi) negara dan gerakan sosial) 

Friday, April 6, 2012

Politik Perburuhan Pasca Orde Baru


Abis ngerjain UTS Politik Perburuhan dan Hubungan Industrial dan belom bisa tidur. Iseng-iseng buka Blogspot sambil bikin desain blog yang dari dulu belom selesai-selesai karena males ngurusnya. hehe :D Berhubung baru selesai ngerjain tugas, sekalian diposting aje sebagai bahan postingan gw di blok ini. Check This Out!





Jatuhnya Orde Baru oleh gerakan reformasi sebagai reaksi terhadap krisis multidimensional seperti krisis ekonomi, sosial, dan politik yang diakibatkan karena berbagai sebab yang kompleks, termasuk membengkaknya hutang luar negeri, kredit perbankan yang tidak terkendali, pemusatan kekuasaan eksekutif, merajalelanya korupsi-kolusi nepotisme (KKN), ekonomi biaya tinggi, konglomerasi. Selain itu terdapat semangat privatisasi, liberalisasi, ekonomi pasar, makin tingginya kesadaran akan hak asasi manusia, dan tuntutan demokratisasi.[1] Seluruh faktor tersebut saling terkait dalam hubungan yang kompleks hingga mencapai titik kulminasi jatuhnya Presiden Soeharto pada Mei 1998.

Sebelumnya Serikat Pekerja pada era Orde Baru berusaha untuk diciptakan homogenitas, keseragaman, kesatuan asas, dan kesamaan interpretasi. Semua itu dilakukan atas semangat persatuan dan kesatuan yang bahkan sering terkesan dipaksakan. Dengan adanya penyederhanaan partai politik di era Orde Baru maka hal tersebut juga berdampak pada penyederhanaan dalam organisasi kemasyarakatan termasuk organisasi pekerja. Namun disisi lain dengan adanya penyederhanaan partai politik juga berdampak pada kemandirian Serikat Pekerja karena mereka tidak terikat atau tergantung pada partai politik. Jika sebelumnya Serikat Pekerja merupakan underbow partai politik, kini mereka bebas menentukan asas, tujuan, dan kebijaksanaan sendiri. Momentum penyederhanaan dan penyatuan Serikat Pekerja juga dimanfaatkan oleh para pimpinan dan aktivis Serikat Pekerja untuk membentuk persatuan dan kesatuan Serikat Pekerja seluruh Indonesia, yaitu lahirnya Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) pada 20 Februari 1973 dengan Agus Sudono sebagai ketuanya.[2] Namun seiring perkembangannya, FBSI ini bertransformasi menjadi Federasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSPSI) pada Oktober 1994.[3] Walaupun buruh dapat disatukan dalam sebuah kesatuan, namun hal itu tidak membuat Federasi Serikat Buruh dapat meningkatkan posisi tawarnya terhadap pemerintah dan pengusaha. Asosiasi buruh ini tidak lain hanya digunakan sebagai perpanjangan tangan bagi pemerintah untuk dapat lebih mengontrol kekuatan buruh. Hal ini sama dengan penggunaan asosiasi pengusaha, Kamar Dagang Indonesia (KADIN), yang digunakan oleh rezim Orde Baru agar dapat mengontrol kekuatan pengusaha.

Bersamaan dengan jatuhnya Orde Baru, mulai banyak didengungkan reformasi di segala bidang, salah satunya di bidang ketenagakerjaan. Pada hakekatnya reformasi adalah proses perubahan, koreksi atau perbaikan yang cukup mendasar menyangkut bentuk yang tidak sesuai untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai serta prinsip pokok yang hendak dilaksanakan. Untuk mencapai semua itu salah satunya adalah adanya jaminan hukum di bidang ketenegakerjaan. Pertama, adalah kebebasan untuk mendirikan Serikat Pekerja Baru di luar SPSI. Dalam pelaksanaannya dilakukan dengan cara mencabut Kepmenaker No. 3 Tahun 1993 yang digantikan dengan Kepmenaker No. 05 Tahun 1998 yang memberikan kemudahan organisasi pekerja untuk didaftarkan sebagai Serikat Pekerja secara resmi. Dalam Permenaker No. 5 Tahun 1998 tersebut diatur juga mengenai pendaftaran ulang bagi Serikat Pekerja yang telah terdaftar sebelumnya. Namun seiring dengan perubahan-perubahan mendasar di bidang Hubungan Industrial, Pemerintah akhirnya mencabut Permenaker No. 05 Tahun 1998 karena dianggap bertentangan dengan kebebasan berserikat. Dalam sidang Pleno LKS Tripartit, pemerintah menetapkan Kepmenaker No. 201/MEN/1999 tentang Organisasi Pekerja.[4] Dalam Kepmenaker No. 201/MEN/1999 dikatakan bahwa Organisasi Pekerja adalah organisasi yang dibentuk secara sukarela dari, oleh dan untuk pekerja guna memperjuangkan hak dan kepentingan kaum pekerja. Organisasi Pekerja mempunyai sifat mandiri, demokratis, bebas, dan bertanggung jawab. Selain itu Kepmenaker tersebut juga mengatur pendaftaran serikat pekerja dengan mencantumkan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga; susunan dan nama pengurus; daftar nama pekerja yang menjadi anggota, dan; surat pernyataan pekerja dan alamat pekerja.[5] Dengan adanya Serikat Pekerja yang semakin terpolarisasi, pada dasarnya dimaksudkan agar Serikat Pekerja dapat tumbuh dan berkembang sehingga mampu bersaing secara positif untuk menciptakan hubungan industrial yang harmonis dan mendorong kemajuan usaha dalam rangka mempercepat proses peningkatan daya saing ekonomi di pasar internasional.

Kedua, yaitu agar dapat melaksanakan pemberian lebih banyak kebebasan dan kesempatan untuk mengekspresikan pendapat pekerja dalam memperjuangkan perbaikan atau peningkatan kesejahteraan anggotanya. Salah satu langkah tersebut dilakukan dengan cara meratifikasi Konvensi ILO No.87 tentang kebebasan berserikat dan perlindungan terhadap hak organisasi (ILO Convention concerning freedom of association and protection of the right to organize) melalui Keppres No. 83 Tahun 1998. Dengan meratifikasi Konvensi ILO No. 87 maka Indonesia mengakui bahwa prinsip Serikat Pekerja telah sesuai dengan peratuaran perundang-undangan untuk melakukan kegiatan. Dengan kehadiran Serikat Pekerja di perusahaan, mereka harus mampu melindungi, menyalurkan aspirasi serta meningkatkan kemampuan para pekerja sehingga kesejahteraan para pekerja dan keluargannya dapat meningkat.[6]

Setidaknya terdapat tiga buah Undang-Undang Ketenagakerjaan yang diharapkan menciptakan iklim kondusif bagi tercerminnya kebebasan berserikat dalam dunia ketenagakerjaan yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, Undag-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI) serta beberapa peraturan perundang-undangan dan Keputusan Menteri lainnya. Perangkat hukum tersebut memastikan komitmen pemerintah Indonesia untuk merealisasikan pengakuan terhadap ketentuan ketenagakerjaan internasional mengenai prinsip-prinsip serta hak-hak mendasar ditempat kerja. Hal tersebut dilakukan dengan meratifikasi beberapa konvensi inti organisasi perburuhan internasional (ILO) dalam rangka menciptakan iklim hubungan industrial yang kondusif sesuai dengan tuntutan masyarakat. Undang-undang tersebut dapat digunakan sebagai instrumen memperkuat hak berserikat maupun berunding bersama, dan pada saat yang sama saling menjaga, memelihara hubungan industrial yang harmonis agar tetap kondusif bagi perbaikan ekonomi bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Salah satu tantangan dari ketenagakerjaan dan hubungan industrial adalah dengan diberikannya kebebasan bagi para pekerja untuk mendirikan Serikat Pekerja. Di satu sisi hal tersebut cukup baik untuk menciptakan persaingan yang positif, namun disisi lain hal tersebut justru melemahkan pihak buruh ketika melakukan perundingan tripartit. Misalnya perwakilan buruh di Dewan Pengupahan akan terpecah menjadi beberapa Serikat Pekerja yang menjadi anggotanya. Berbeda dengan wakil dari pengusaha, yaitu APINDO, dan pemerintah yang terwakili dalam satu suara. Terpecahnya wakil dari buruh tentu akan melemahkan posisi tawar dalam perundingan tripartit, khususnya dalam masalah ketenagakerjaan.

Tantangan lainnya berasal dari buruh kontrak. Undang-Undang Nomor 13 selain membawa keterjaminan hak parah buruh, namun juga membawa ketidakadilan bagi buruh. Sistem kontrak setidaknya melemahkan posisi buruh dalam mendapatkan jaminan pekerjaan dan kesejahteraan. Selain itu dengan sistem kontrak akan menghalangi buruh untuk naik pangkat dalam karier pekerjaan mereka sehingga kesejahteraan buruh hanya akan berkutat di satu titik tanpa adanya kenaikan.


[1] Sentanoe Kertonegoro, Gerakan Serikat Pekerja (Trade Unionism): Studi Kasus Indonesia dan Negara-Negara Industri (Jakarta: Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, 1999) hlm 21
[2] Yunus Shamad, Hubungan Industrial di Indonesia (Jakarta: PT Bina Sumberdaya Manusia, 1995) hlm 95-98
[3] Sentanoe Kertonegoro, Op., Cit., hlm 20
[4] Sutan Makmur Muins, Dampak Kebebasan Berserikat Bagi Perlindungan Organisasi di Perusahaan, dalam Jurnal Ketenagakerjaan Vol. 3 – No. 1- Edisi Januari – Juni 2008, diakses dari http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/31081126.pdf pada tanggal 14 April 2012 pukul 23.05
[5] Lebih jelas lihat Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor KEP-201/MEN/1999 tentang Organisasi Pekerja.
[6] Sutan Makmur Muins, Op., Cit.,